PENGENALAN CIRI UMUM BIOREPRODUKSI SATWA
“Ular
Piton ( Phyton reticulatus), Tekukur
Biasa (Streptopelia chinensis) dan
Landak Susu (African Pygmy
Hedgehog)”
Oleh:
Arya
Arismaya Metananda
PENDAHULUAN
a.
Latar
Belakang
Keberadaan
ular piton ( Phyton reticulatus),
tekukur biasa (Streptopelia chinensis)
dan landak susu (African Pygmy Hedgehog)
saat ini menjadi perhatian banyak orang. Ketiga satwa ini termasuk satwa familyar yang kerap dipelihara oleh
masyarakat, baik dalam penangkaran maupun hanya sekedar karena faktor kesukaan “pets” (Pakihudin, 2002). Dengan semakin
meningkatnya permintaan terhadap satwa ini, menyebabkan keberadaannya di
alam semakin terancam. Belum lagi di habitat
alaminya yang terus mengelami tekanan perusakan seperti dengan semakin luasnya
pembukaan kawasan hutan menjadi non-hutan yang menyebabkan habitat satwa ini
semakin terdesak, selain itu perburuan liar yang terus berlangsung semakin
mempercepat penurunan populasi satwa ini di habitat alaminya.
Dalam
upaya untuk mengurangi tekanan-tekanan terhadap kehidupannya di alam, terutama
akibat perburuan liar maka perlu ditingkatkan kegiatan-kegiatan konservasi ex-situ
yang salah satu diantaranya melalui kegiatan penangkaran. Seperti dalam
undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan
Ekosistemnya menyebutkan bahwa pemanfaatan hidupan liar dimungkinkan dilakukan
baik dalam bentuk pengkajian, penelitian dan pengembangan, penangkaran,
perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya tanaman obat-obatan atau
pemeliharaan untuk kesenangan. Penangkaran terhadap ketiga satwa ini merupakan
awal dari usaha pemanfaatan secara menyeluruh, sebelum berkembang lebih lanjut
ke arah peternakan. Baik ular piton (Phyton
reticulatus), tekukur biasa (Streptopelia
chinensis) dan landak susu (African Pygmy Hedgehog)
sebenarnya memiliki nilai ekologi, ekonomis dan estetika yang sangat tinggi.
Dari segi ekologi satwa ini menjadi sumber plasma nutfah dan memberikan
keseimbangan bagi rantai makanan di alam. Dari segi estetika, satwa ini
terbukti banyak dipelihara oleh masyarakat karena mempunyai nilai keindahan tersendiri.
Sedangkan dari segi ekonomi satwa ini dapat menjanjikan bagi pengembangan
perekonomian dengan menjadikan satwa ini sebagai komoditi komersil, mulai untuk
pets, obat-obatan, maupun untuk fungsi lainnya.
Tentunya
dalam upaya penangkaran terhadap ketiga satwa diatas, diperlukan informasi yang
cukup, terutama tentang bioreproduksi satwa karena tingkat keberhasilan suatu
penangkaran dilihat dari keberhasilan kawin dan menghasilkan keturunan dari
kegiatan penangkaran tersebut. Ini menjadi penting karena dalam menjamin
keberlangsungan satwa diperlukan perlakuan-perlukuan seperti persilangan
(perkawinan) dan untuk mengetahui serta meningkatkan keberhasilan proses
tersebut diperlukan informsi yang cukup terkait bioreproduksi sebelum satwa
tersebut disilangkan. Mulai dari informasi tipe perkawinan, musim kawin,
estrus, sampai pada prilaku reproduksi.
b.
Tujuan
1. Pengenalan
ciri umum biologi reproduksi satwa liar
2. Membedakan
satwa berdasarkan ciri biologi reproduksi
METODE
Pencarian data terkait
dengan reproduksi satwa baik itu ular piton ( phyton reticulatus), tekukur biasa (Streptopelia chinensis) dan landak susu (African Pygmy Hedgehog)
dilakukan dengan studi pustaka (skripsi, tesis, disertasi, laporan, jurnal
ilmiah) dan mengunduh dari internet
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Ular piton (Phyton reticulatus)
Kingdom : Animalia
Class : Reptilia
Order : Squamata
Family : Pythonidae
Genus : Python
Species : P.
reticulatus
Diskripsi
Umum
Ular piton
atau dikenal sebagai ular sanca merupakan keluarga Phytonidae yang terdapat sekitar 26 jenisnya di dunia. Bersama
dengan Anaconda, Ular piton merupakan ular terbesar di kelompoknya. Ular Piton
atau Sanca kembang merupakan jenis piton yang ditemukan di Asia Tenggara. Jenis Piton sendiri memiliki 7 spesies
di dunia dan untuk piton batik sudah terdapat beberapa variasi jenis yang
merupakan hasil perkawinan silang, antara lain tiger albino piton, sunfire
golden piton, calico, ivory dan lain sebagainya.
Habitat piton adalah hutan basah, rawa, sungai dan danau. Sarangnya juga ditemukan
di gua dan daerah berbatu. Ular dewasa dapat mencapai panjang 11 m, oleh karena itu ular piton kembang merupakan ular
dan reptil terpanjang di dunia. Menurut The Guinness Book of World Records tahun 1991
mencatat piton kembang sepanjang 10 meter sebagai ular yang terpanjang.
Ular Piton
merupakan jenis ular yang menghabiskan waktunya berada di pohon dengan cara
memanjatnya dan ular jenis ini juga memiliki kemampuan berenang sehingga dapat berpindah tempat ke pulau-pulau lain dalam
jangkauannya. Ular piton bersifat nokturnal
atau aktif pada malam hari. Hewan karnivora ini, makanan utamanya adalah mamalia kecil, burung dan reptilia lain
seperti biawak. Ular yang
kecil memangsa kodok, kadal dan ikan. Walaupun tampak berbahaya, namun
ular piton ternyata tidak memiliki
bisa. Cara piton berburu
adalah dengan cara mengendap mendekati mangsanya atau berdiam diri sampai
mangsanya mendekat lalu mencengkram mangsanya dengan rahang yang besar dan
meremukkan tubuh mangsanya dengan lilitan otot tubuhnya. Metabolisme ular sangat lambat.
Sehabis menelan mangsanya dibutuhkan waktu berhari-hari bahkan mingguan untuk
membuatnya makan kembali.
Ular
Phyton reticulatus memiliki corak
sisik yang merupakan perpaduan antara warna coklat, emas, hitam dan putih. Ular
P. reticulatus termasuk satwa
ektotermik, sehingga untuk mencukupi kebutuhan panasnya, satwa ini harus
mengambil panas dari lingkungan. Perilaku berjemur di bawah sinar matahari
langsung yang biasa disebut basking adalah untuk mendapatkan panas. Satwa yang
dikategorikan dalam appendix II ini, banyak dimanfaatkan oleh manusia sebagai
hewan peliharaan atau koleksi kebun binatang yang berguna dalam tujuan
pendidikan masyarakat. Daging dan organ dalamnya dimanfaatkan sebagai bahan
makanan. Ular P. reticulatus memiliki
sepasang ovarium dan oviduk sebagai saluran reproduksinya. Pada ular P. reticulatus memiliki sepasang testes,
tubuli seminiferi sebagai saluran reproduksinya dan sepasang hemipenis sebagai
alat kopulasinya. Sedangkan kloaka, merupakan pintu dari tiga saluran (pencernaan,
eksresi dan reproduksi).
Tipe
Perkawinan
Phyton reticulatus
termasuk satwa yang bersifat poligamus. Setelah bertelur, ular ini dapat saja tidak
mengerami telurnya melaikan kawin lagi sehingga memungkinkan mengasilkan jumlah
telur yang lebih banyak.
Musim kawin
Musim kawin
ular piton (Phyton reticulatus) yang
dilakukan di kandang penangkaran berkisar antara bulan Mei hingga Oktober.
Adapun penetuan sex ratio bagi ular ini adalah 1 : 1. Hal ini
dilakukan karena apabila dalam kandang terjadi lebih dari satu pasangan, maka
kemungkinan besar akan terjadi perkelahian (agonistik) untuk
memperebutkan pasangan.
Secara umum
musim kawin berlangsung antara september hingga maret di asia. Ular betina
memiliki tubuh yang lebih besar. Jantan maupun betina akan berpuasa di musim
kawin, sehingga ukuran tubuh menjadi hal yang penting di sini. Betina bahkan
akan melanjutkan puasa hingga bertelur, dan sangat mungkin juga hingga telur
menetas.
Minimum Dan Maximum Breeding Age
Ular piton
termasuk ular yang berumur panjang, hingga lebih dari 25 tahun. Ular piton dewasa setelah berusia 3 – 4 tahun.
Dewasa kelamin pada ular piton (Phyton
reticulatus) terjadi pada umur 2.5
tahun hingga 3 tahun. Setelah dewasa ular dapat dicoba untuk dikawinkan dengan
dipasangan pada suatu tempat selama 1 minggu. Setelah terjadi perkawinan, ular
jantan dipisahkan kembali. Untuk ular yang belum pernah kawin, maka penjodohan
dapat dilaksanakan selama 4 minggu hingga 6 minggu kemudian dipisahkan selama
beberapa minggu untuk observasi dan pemberian pakan. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui tanda-tanda bunting pada ular piton. Umumnya tanda-tanda
tersebut baru dapat diketahui setelah 2 minggu dari masa kopulasinya.
Estrus
Saat ini
belum ada metode sederhana yang dapat digunakan utnuk mendeteksi siklus estrus
atau periode fertil pada ular. Sejauh ini penentuan estrus atau masa kawin
dilakukan berdasarkan perubahan tampilan fisik dan tingkah laku. Ular betina yang
mengalami masa subur bisaanya dapat diketahui dengan perilaku menolak makanan
yang diberikan (puasa).
Lama Kebuntingan,
Masa Inkubasi dan Jumlah Anak Per Kelahiran
Ular
piton (Phyton reticulatus) dapat
bertelur sebayak 10-20 butir. Untuk setiap masa bertelur, ular ini akan
melahirkan anak dengan panjang 30 cm dan berat 9 gram. Sebelum bertelur ular
akan mengerami telurnya dengan cara melingkarkan badannya untuk menyelimuti
telur. Untuk kepentingan budidaya, telur dapat dierami dengan menggunakan inkubator.
Akan tetapi penggunaan inkubator dapat membuat induk menjadi lebih agresif.
Oleh karena itu sebaiknya bagian kandang yang tembus pandang ditutupi dengan
kain. Selain itu penjagaan terhadap perubahan suhu dan kelembaban udara dalam
kandang juga harus diperhatikan. Hal ini dapat menggunakan baki air dalam
kandang.
Daya tetas
telur ular
piton (Phyton reticulatus) dengan pengeraman alami mencapai 80% dan
bahkan ditemui juga yang mencapai 100%. Telur yang tidak akan jadi anakan
bisaanya terpisah dari induk waktu dierami. Sedangkan daya tetas dengan
menggunakan inkubator bervariasi antara 70% hingga 80%. Penggunaan inkubator
harus mengusahakan agar kondisi suhu tetap atau tidak berfluktuasi terlalu jauh
(Pamungkas
RB, 2001).
Daya tetas
menggunakan inkubator memang lebih rendah jika dibandingkan dengan menggunakan
induk secara alami. Kejadian tersebut disebabkan kurang hati-hati pada saat
pemindahan telur dari sarang ular ke inkubator. Teknik pemindahan telur ke
sarang tetas pada intinya menjaga posisi telur agar sama seperti pada saat
dikeluarkan oleh induk. Teknik ini bertujuan unuk menjaga agar saluran pembuluh
darah embrio tidak tertutupi oleh kuning telur. Dan apabila saluran tersebut
tertutupi, maka embrio akan mati. Disini, teknik yang digunakan adalah dengan
memberikan tanda hitam pada bagian atas telur (Junaedi 1999).
Walaupun
daya tetas dengan menggunakan inkubator lebih rendah jika dibandingkan
penetasan secara alami, terkadang penangkaran tetap menggunakan inkubator
sebagai mesin penetas. Adapun alasannya adalah:
1.
Penetasan dapat terjamin sebesar 70% hingga 80%
meskipun masih ada masa kritis (kondisi dibawah normal).
2.
Kesehatan induk lebih terjamin jika dibandingkan
dengan penetasan alami yang rentan terhadap serangan penyakit.
3.
Induk yang telah bertelur dapat melakukan perkawinan
lagi tanpa mengalami masa pengeraman selama 55 hari hingga 60 hari sehingga
akan lebih cepat menghasilkan keturunan lagi.
Penggunaan
inkubator dimulai dengan memindahkan telur ke dalam kontainer (kotak) yang
diberi alas. Pemindahan telur ini sebaiknya dilakukan oleh dua orang untuk
menghindari kerusakan telur akibat gerakan ular yang cenderung lebih agresif.
Kumpulan telur ini biasanya saling melekat dan berada pada posisi tertentu.
Telur-telur ini tidak boleh dipisah-pisahkan. Telur ini harus dipindahkan
sekaligus dan diletakkan dalam posisi sesuai kondisi awalnya pada saat dierami
induknya. Perubahan posisi telur yang berlebihan dapat menyebabkan kematian
embrio dalam telur.
Alas telur
dalam kotak sebaiknya menggunakan vermiklit karena tahan api dan tidak
ditumbuhi jamur serta bakteri selama masa inkubasi. Sebelum digunakan, alas
sebaiknya dibasahi dengan air agar lembab. Suhu ideal inkubasi telur ular
piton (Phyton reticulatus) adalah
berkisar antara 30 °C hingga 32 °C dan dengan kelembaban relatif sekitar 92%.
Kelembaban relatif yang rendah dapat menyebabkan telur mengalami dehidrasi dan
mengakibatkan kematian embrio. Sedangkan perubahan suhu yang terlalu besar
dapat menyebabkan kelainan teratogenetik dan kematian (Ros et al. 1990).
Telur dapat
diinkubasi selama 55 hari hingga 60 hari. Selama inkubasi bisa terjadi
perubahan warna pada kulit telur. Perubahan warna pada kulit telur ini
dapat berupa perubahan transparansi kulit menjadi bercak air yang lebih dikenal
dengan sebutan “Water spot”. Telur yang mati biasanya berwarna kuning
pucat pada tahap awal kemudian menjadi kuning kehijauan dan menyebar ke seluruh
permukaan telur. Perubahan warna tersebut disebabkan oleh proses pembusukan
yang disebabkan oleh bakteri gram negatif. Sehingga sebaiknya telur yang mati
ini dipindahkan karena bakteri pembusuk dan kapang yang tumbuh dapat menyebar
ke telur yang lain.
Dua minggu
sebelum menetas biasanya akan terbentuk lekukan pada kulit telur. Lekukan ini
biasanya semakin menjadi besar hingga saat menetas. Semua telur dapat menetas
dalam kurun waktu 48 jam. Maka dalam kurun waktu 48 jam setelah penetasan
pertama terdapat telur yang belum menetas, telur tersebut akan dibantu
penetasannya dengan cara dibuka kulit telurnya. Rata-rata telur mengambil 88
hari untuk menetas.
Selepas
menetas dari telurnya, anak-anak ular phyton langsung dapat mandiri. Mereka
tidak terpaku pada induknya. Induk yang telah menetas dapat langsung kawin
kembali setelah memakan waktu ± 88 hari.
Perilaku Reproduksi
Perilaku
satwa adalah ekspresi satwa yang disebabkan oleh faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Faktor tersebut adalah faktor dalam (endogenous factor)
dan faktor luar (exogenous factor) serta faktor pengalaman dan faktor
fisiologi (Sentanu 1999). Selanjutnya dikatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkah laku binatang tersebut dikatakan sebagai rangsangan,
sedangkan aktivitas yang ditimbulkan oleh rangsangan tersebut dikenal dengan
nama respon (Tanudimadja & Kusumamihardja 1985). Tanudimadja dan Kusumamihardja
(1985) juga mengatakan bahwa fungsi dari perilaku adalah untuk memungkinkan
satwa beradaptasi terhadap perubahan, baik perubahan dari dalam (internal)
maupun perubahan dari luar (external) tubuh satwa.
Secara
umum perilaku seksual pada ular piton (Phyton
reticulatus) hampir sama dengan perilaku pada jenis-jenis reptil yang lain
yakni terdapat 5 tahapan, seperti yang diuraikan oleh (Suharmono 1998).
Tahapan-tahapan perilaku seksual tersebut adalah:
1. Menarik perhatian
Perilaku kawin dimulai dengan perilaku menarik
perhatian (courtship) yang dilakukan oleh induk jantan kepada induk
betina. Dalam menarik perhatian induk betina, umumnya induk pejantan
menampilkan gerakan-gerakan sembari menjulurkan lidahnya.
2. Bercumbu
Setelah menangkap tubuh betina, maka pejantan akan
melakukan percumbuan. Percumbuan yang dilakukan pejantan adalah dengan
mencengkram betina, menggigit lehernya sambil meninggalkan luka. Setelah itu
betina dilepaskan kembali.
3. Menaiki
Tahap menaiki yang dilakukan pejantan hampir sama
dengan tahap bercumbu. Untuk tahap ini posisi jantan tidak terletak di atas
tubuh betina, akan tetapi menjatuhkan dirinya disamping tubuh induk betina.
4. Intomisi dan Ejakulasi
Tahap intomisi diawali dengan berontaknya betina
sehingga menyebabkan terangkatnya lubang kloaka betina. Pada saat bersamaan
pada lubang kloaka pejantan muncul organ hepernis sehingga kedua lubang
tersebut bertemu dan organ hepernis jantan masuk ke kloaka betina hingga organ
hemipenis jantan mengeluarkan cairan sperma.
5. Relaksasi
Merupakan tahapan terakhir dari seksual ditandai
dengan melepasnya organ hemipenis dan ekor pejantan mengendorkan cengkeramannya
dan melepaskan leher betina. Perilaku yang terjadi setelah tahap ini adalah
berdiam diri ditempatnya untuk istirahat.
Menurut
Gillingham et al. (1977) tingkah laku reproduksi berikut ini terjadi
pada saat ular melaksanakan perkawinan. Tingkah laku tersebut adalah:
1. Tahap mendekati
Pada tahap ini betina akan bergerak pelan ke depan,
jantan akan mengejar dan merayap dibagian dorsal betina, meluruskan dan
mensejajarkan bagian kloakanya. Pada saat jantan mengejar betina bisa saja
gerakan ular jantan tersebut kuat dan kasar. Dan jika betina menolak untuk
dikawini umumnya betina akan bergerak menjauhi pejantan.
2. Tahap menstimulasi
Ular jantan memutar posisi ekor menjadi di bawah ekor
betina, berusaha mempertemukan bagian kloakanya dengan kloaka betina. Betina
dapat mengangkat ekornya sendiri ataupun diangkatkan oleh ekor ular jantan.
Kadang-kadang ular jantan menggunakan tajinya untuk menstimulasi betina untuk
mengangkat ekornya. Ular betina yang tidak mau dikawini umumnya tidak mau
mengangkat ekornya.
3. Tahap mempertemukan kloaka
Jantan meluruskan ekornya dengan betina, kemudian
mempertemukan bagian kloaka kedua ular.
4. Tahap bersetubuh.
Ular betina yang mau dikawini, maka ular tersebut
akan mengangkat ekornya dan membuka kloakanya dan kemudian pejantan akan
memasukkan hemipenisnya ke dalam kloaka betina.
B. Tekukur Biasa (Streptopelia chinensis)
Kerajaan: Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo : Columbiformes
Famili : Columbidae
Genus : Streptopelia
Spesies : Streptopelia chinensis
|
|
Tipe Perkawinan
Dilihat dari sistem perkawinannya, burung ini dapat digolongkan kedalam
kelompok burung monogamous temporalis
yakni berpasangan tunggal temporal setidaknya dalam satu musim atau periode
kawin, sedangkan pada periode kawin berikutnya dapat kawin dengan pasangan lain
(Masy`ud, 1989)
Musim Kawin
Beberapa literatur
menyebutkan, bisa saja terjadi perbedaan waktu berbiak atau musim kawin pada
burung tekukur yang berada di alam dengan yang berada di penangkaran. Ini
terlihat dari pengamatan di penangkaran dimana musim kawin tersebut berlangsung
pada bulan September sampai Desember, walaupun pengamatn dialam aslinya terkadang
tidak pada bulan-bulan itu. Tekukur biasa disebut hewan pekawin bermusim (seasonal
breeder). Salah satu faktor yang kuat berpengaruh terhadap perubahan pola
reproduksi antara di alam bebas dengan di penangkaran adalah faktor makanan
terutama yang berkaitan dengan kontinuitas ketersediaan pakan (energi) untuk
memenuhi kebutuhan reproduksinya. Ruang gerak yang terbatas dalam seluruh
aktivitas burung di penangkaran juga membawa implikasi pada efisiensi
pemanfaatan energi yang relatif tinggi, sehingga ketersediaan energi tersebut
selain untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok secara optimal juga dapat digunakan
untuk menunjang proses reproduksi.
Tanda-tanda mulai kawin pertama kali biasanya
didahului oleh perilaku membentuk pasangan, membuat sarang dengan mencari dan
membawa bahan sarang berupa rumput-rumput atau ranting kecil ke dalam sarang.
Burung jantan mulai mengeluarkan bunyi untuk menarik pasangannya dan frekuensi
keluar masuk sarang meningkat sejalan dengan mendekatnya waktu kawin. Perkembangan organ reproduksi burung untuk
mencapai tahap fungsional yang ditandai oleh adanya aktivitas perkawinan dan
produksi sperma dan sel telur dipengaruhi oleh banyak faktor baik internal
maupun eksternal. Faktor internal yang penting adalah rangsangan hormon (FSH &
LH) disamping kesiapan organ reproduksi betina yang secara tidak langsung
memberikan andil dalam kerja hormon FSH dalam proses pematangan folikel ataupun
hormon LH dalam proses spermatogenesis. Sedangkan faktor eksternal antara lain
adalah faktor asupan pakan dengan kualitas dan keseimbangan gizi yang cukup
(Parker, 1969; Toelihere, 1985; Grimes, 1994; Etches, 1996).
Minimum
dan Maximum Breeding Age
Menurut
Sibley dan Ahlquist (1990), ada beberapa peubah demografi yang berhubungan
seperti hubungan antara usia hidup (longevity) dengan ukuran sarang (clutch
size). Umumnya burung-burung yang kawin pertama kali pada usia satu tahun
atau burung-burung yang berumur pendek, bertelur lebih dari dua butir per
sarang dan memiliki lebih dari satu sarang per tahun, dengan daya hidup telur
dan anak relatif rendah. Sebaliknya burung-burung yang usia kawin pertamanya
lebih lambat sampai empat tahun atau lebih, cenderung bertelur satu atau dua
butir telur per sarang dan hanya satu kali dalam satu tahun, dan mempunyai daya
tahan hidup yang lebih tinggi dan berumur panjang. Hal ini tampaknya juga
berlaku pada burung tekukur yang memasuki kawin pertama pada usia satu tahun
atau kurang dengan jumlah telur per sarang rata-rata dua butir dan memiliki
beberapa sarang (dapat bertelur beberapa kali) dalam satu tahun. Sebagai
penanda usia siap kawin, pada burung betina yang belum siap secara fisiologis
biasanya selalu terbang menghindar/ menjauh jika didekati atau dicumbu oleh
pejantan.
Jumlah Telur Per Sarang (Clutch Size)
Hasil pengamatan terhadap jumlah telur dalam satu
irama bertelur (ukuran sarang – clutch size) terhadap burung tekukur
biasa yakni 1.70 ± 0.48 (1-2) butir.
Ada beberapa faktor
yang diduga berpengaruh terhadap jumlah telur dalam satu irama bertelur (clutch
size), diantaranya umur burung, berat badan, makanan, kondisi kesehatan dan
lingkungan kandang (luas, suhu dan kelembaban serta ada tidaknya gangguan)
(Parker 1969; Etches 1996). Nalbandov (1990) mengemukakan bahwa variasi jumlah
telur yang dihasilkan burung dalam satu masa irama bertelur juga dipengaruhi
oleh susunan genetik kelenjar pituitari, terutama pada jumlah gonadotropin yang
dihasilkannya. Menurut Short (1993), jumlah telur yang dihasilkan suatu jenis
burung dalam suatu irama bertelur (clutch size) ditentukan oleh seleksi
alam dari berbagai faktor yang berkaitan dengan kehidupan burung.
Ada
tiga faktor utama yang diketahui berpengaruh terhadap evolusi yang menentukan
ukuran sarang (clutch size), meskipun ada peluang individual dan variasi
geografik yang terjadi. Ketiga faktor tersebut adalah : Pertama, kemampuan
induk bekerja dengan kapasitas maksimum dalam membangun sarang dan menyiapkan
makanan untuk anaknya setiap hari. Makin banyak telur yang dihasilkan maka
makin besar usaha yang harus dilakukan induk untuk memelihara telur tersebut. Kedua,
besarnya peluang telur menjadi anak dan bertahan secara relatif tidak diganggu
predator. Makin kecil peluang hidup dan makin besar gangguan predator maka
jumlah telur yang dihasilkan cenderung lebih banyak. Ketiga, daya hidup
induk burung untuk memelihara dirinya dan anaknya. Dikatakan pula bahwa ukuran
sarang (clutch size) juga ditentukan oleh metode burung mencari makan.
Secara umum burung-burung yang dapat mencari makan sepanjang hari namun
cenderung lebih suka makan selama jam-jam terang cahaya pada pagi dan malam
hari, biasanya bertelur dua butir. Letak lintang (latitude) dimana
burung itu biasa bertelur dan membuat sarangnya juga menyebabkan perbedaan clutch
size. Dalam sekali bertelur, burung tekukur biasa mengeluarkan dua telur.
Lama Pengeraman Telur (Inkubasi)
Hasil pengamatan lama
pengeraman telur terhadap beberapa sarang diperoleh gambaran bahwa lama
pengeraman telur pada burung tekukur yakni sekitar 14 hari masing-masing 14.50
± 0.76 hari. Ada beberapa faktor yang diketahui berpengaruh terhadap lama masa
pengeraman telur burung, diantaranya faktor suhu dan kelembaban. Menurut Short
(1993), pada musim panas dimana suhu relatif lebih tinggi untuk daerah-daerah
panas, periode pengeraman telur lebih pendek. Sebaliknya pada musim dingin atau
daerah dimana suhu lebih rendah (dingin) maka lama waktu pengeraman telur
relatif lebih lama. Disamping faktor suhu, variasi kebutuhan induk untuk makan
(mencari makan) dan mempertahankan diri juga berpengaruh secara nyata terhadap
variasi lama pengeraman telur. Meskipun ada pengecualian namun secara umum
telah diketahui biasanya jenis burung dengan telur berukuran lebih kecil dan
ukuran sarangnya (clutch size) kecil mempunyai masa pengeraman telur
lebih pendek yakni sekitar 11 hari.
Berdasarkan
pandangan tersebut, dalam banyak laporan diketahui bahwa jenis-jenis burung
dengan ukuran dan jumlah telur per sarang seperti halnya burung tekukur yakni
dua butir, mempunyai rata-rata lama pengeraman telur kurang lebih 14 hari.
Adanya variasi satu sampai dua hari dalam waktu lama pengeraman telur antara
lain disebabkan adanya variasi suhu dan kelembaban lingkungan. Umumnya hasil
pengamatan menunjukkan bahwa pada musim penghujan, masa pengeraman telur
relatif lebih lama satu sampai dua hari dibanding pada musim panas.
Jarak Waktu Periode Bertelur (Nest Period)
Hasil pengamatan terhadap
jarak waktu antara dua masa bertelur (periode bertelur) pada burung tekukur
memperlihatkan ada dua kondisi yang dapat dibedakan untuk menghitung jarak
waktu bertelur, yakni (1) kondisi normal, artinya pada keadaan mulai bertelur,
mengeram, menetas sampai anak disapih (alamiah), dan (2) kondisi tidak normal,
yakni pada keadaan dimana telur busuk, tidak menetas dan pecah. Jarak waktu
bertelur pada keadaan normal pada burung tekukur adalah 48,79 ± 3.53 hari.
Sedangkan pada keadaan tidak normal jarak waktu bertelur relatif lebih cepat
yakni 31,22 ± 5,63 hari.
Adanya variasi individual
dalam hal jarak waktu bertelur (nest period) pada keadaan normal antara
lain berhubungan dengan jumlah anak per sarang (brood size). Pada
induk-induk burung dengan jumlah anak lebih banyak (dua ekor) maka jarak waktu
bertelur antar dua periode bertelur relatif lebih lama dibanding induk burung
dengan jumlah anak lebih kecil (satu ekor). Sedangkan pada keadaan tidak normal
dimana telur pecah, busuk atau tidak menetas, maka jarak waktu bertelur pada
burung tekukur menjadi lebih singkat yakni kurang dari 40 hari. Pada pengamatan
yang lebih spesifik diperoleh gambaran secara umum bahwa pada keadaan telur
tidak menetas, burung akan segera kembali bertelur jika telur yang tidak
menetas itu segera diambil. Artinya setelah melewati hari ke-16 sampai hari
ke-18 dari masa pengeramannya, telur yang tidak menetas itu segera diambil,
maka dalam waktu singkat sekitar 7-14 hari setelah telur diambil induk burung
akan segera bertelur kembali.
Berdasarkan kondisi jarak
bertelur seperti itu, maka dalam keadaan normal seekor induk burung tekukur dalam
satu tahun dapat bertelur empat sampai enam kali. Ini berarti bahwa di
penangkaran pola reproduksi (bertelur) burung tekukur dapat berlangsung
sepanjang tahun, berbeda dengan di alam bebas yang cenderung hanya berlangsung
pada bulan-bulan tertentu saja atau lebih dikenal sebagai hewan pekawin
bermusim (seasonal breeder). Salah satu faktor yang kuat berpengaruh
terhadap perubahan pola reproduksi antara di alam bebas dengan di penangkaran
adalah faktor makanan terutama yang berkaitan dengan kontinuitas ketersediaan
pakan (energi) untuk memenuhi kebutuhan reproduksinya. Ruang gerak yang
terbatas dalam seluruh aktivitas burung di penangkaran juga membawa implikasi
pada efisiensi pemanfaatan energi yang relatif tinggi, sehingga ketersediaan
energi tersebut selain untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok secara optimal juga
dapat digunakan untuk menunjang proses reproduksi.
Daya Tetas Telur
Hasil pengamatan terhadap
tujuh sarang dari masing-masing pasang burung diperoleh gambaran daya tetas
telur pada burung tekukur 35.71%. Diantara faktor yang diduga berpengaruh
terhadap daya tetas telur adalah umur induk, suhu dan kelembaban kandang dan
kualitas pakan (Kosin, 1969; Etches, 1996). Selain itu tingkat gangguan
lingkungan kandang juga sangat berpengaruh terhadap daya tetas telur, terutama
untuk pasangan burung tekukur. Burung tekukur memiliki sifat liar yang relatif
masih tinggi sehingga kepekaannya terhadap gangguan faktor lingkungan masih
sangat tinggi. Dalam pengamatan diketahui bahwa jika ada gangguan maka cenderung
induk betina tekukur yang sedang mengerami telur akan meninggalkan telurnya
bahkan seringkali telurnya dimakan atau dipecahkan.
Perilaku Kawin
Hasil pengamatan terhadap
perilaku kawin pada burung tekukur dari keseluruhan rangkaian perilaku (Alcock,
1989) maka dapat dibedakan ke dalam tiga tahap (fase), yakni pra-kopulasi,
kopulasi dan pasca kopulasi.
1. Perilaku Pra Kopulasi
Perilaku pra kopulasi adalah perilaku
yang dilakukan sebelum kopulasi. Tujuan perilaku ini adalah untuk menarik
pasangannya agar siap atau mau melakukan kopulasi. Perilaku menarik pasangan
ini biasanya dilakukan oleh pejantan, yakni dengan cara bersuara secara
berulang (degku.. kuukkur.… ) sambil mengangguk-anggukkan (menggerakan)
kepala lalu bergerak mendekati betina, mematuk-matuk atau menyelisik bulu.
Suara yang dikeluarkan bersifat khas dan lazim dikenal sebagai suara seksual (sexual
calling – sexual vocal). Perilaku pra kopulasi pada burung jantan juga
ditunjukkan dengan aktivitas menyiapkan sarang, yakni dengan sering keluar
masuk sarang sambil membawa rumput atau ranting-ranting kecil ke dalam atau
keluar sarang, diam sesaat di dalam sarang sambil mengeluarkan suara – sex
calling. Pada burung betina yang belum siap secara fisiologis biasanya
selalu terbang menghindar/menjauh jika didekati atau dicumbu oleh pejantan.
Perilaku pra kopulasi ini dapat berlangsung singkat (beberapa jam) sampai
beberapa hari (2–3 hari) bahkan kadang-kadang mencapai satu minggu atau lebih,
tergantung tingkat kematangan dan kesiapan fisiologis dari burung betina. Pada
betina yang terlihat mulai cocok dan siap kawin, tampak diam jika pejantan
mulai mendekati, mencumbui dan belajar menungganginya, serta memberikan respons
siap dikawini. Frekuensi penunggangan bisa terjadi beberapa kali (3 – 4 kali bahkan
lebih). Betina yang sudah siap juga tampak intensif keluar masuk sarang atau
belajar diam sesaat di dalam sarang untuk mengenal sarangnya sambil
mengeluarkan suara khas …degkku…ku..kuuu.
Keseluruhan rangkaian perilaku pra kopulasi tersebut
pada dasarnya bertujuan untuk mempertinggi efektivitas pertemuan sperma dan sel
telur atau memungkinkan agar perkawinan yang terjadi dapat berhasil dan efektif
menghasilkan keturunan. Jadi perilaku pra kopulasi pada dasarnya berfungsi
sebagai proses sinkronisasi kondisi fisiologis diantara pejantan dan betina
agar proses kopulasi dapat berlangsung optimal dan efektif. Dalam hal ini
faktor penting adalah kondisi hormonal seks di dalam tubuh satwa jantan dan
betina.
2. Perilaku Kopulasi
Perilaku kopulasi ditunjukkan oleh
naiknya burung jantan ke atas punggung burung betina lalu memasukkan semen/
spermatozoa ke dalam saluran reproduksi betina, ditandai oleh terangkatnya bulu
ekor burung betina. Kopulasi berlangsung sangat singkat yakni 2-3 detik.
Umumnya kopulasi berlangsung di lantai kandang, meskipun pada beberapa kasus
ditemukan kopulasi berlangsung di tempat tenggeran. Waktu kopulasi umumnya
terjadi pada pagi hari jam 09.00-11.00 WIB, siang hari (sekitar jam 12.00-13.30
WIB) dan menjelang sore hari sekitar jam 15.00-16.00 WIB. Frekuensi kopulasi
terbanyak berlangsung pada siang hari. Dalam satu hari sepasang burung tekukur
dapat melakukan kopulasi 4-5 kali, sedangkan burung puter dapat mencapai 5-6
kali dengan jarak waktu antar dua kopulasi secara berurutan dalam satu waktu
sekitar satu sampai dua jam.
3. Perilaku Pasca Kopulasi
Segera setelah kopulasi burung jantan turun dari
punggung betina sambil mengepakkan sayap, diam sesaat kemudian terbang ke
sarang atau tenggeran. Begitu pula halnya dengan burung betina. Setelah itu
burung jantan kembali bersuara, terbang keluar masuk sarang dan mencoba kembali
mendekati betina. Jika kopulasi yang terjadi itu efektif, biasanya diikuti
dengan aktivitas bersama antara jantan dan betina dalam mempersiapkan sarang
bagi betina untuk meletakkan telurnya. Dari beberapa kasus yang diamati
diketahui bahwa jarak waktu antara kopulasi dengan saat peletakkan telur oleh
betina sekitar 3 – 5 hari, kadang-kadang mencapai 7-10 hari. Segera setelah
telur semua diletakkan (biasanya dua butir) maka betina mulai mengerami telur
tersebut. Dari pengamatan diketahui bahwa secara umum kedua telur itu
diletakkan secara berurutan dengan jarak waktu mencapai 23-24 jam, namun dari
beberapa kasus juga diketahui bahwa telur kedua diletakkan sekitar 40-48 jam kemudian,
pada pagi maupun sore hari. Pengeraman telur dilakukan segera setelah telur
kedua diletakkan. Tugas utama pengeraman telur dilakukan oleh induk betina,
sedangkan induk jantan hanya membantu terutama dalam mengamankan dan menjaga
kestabilan kondisi sarang pada saat induk betina keluar sarang untuk makan dan
minum serta menggerakkan tubuh.
Tipe Perkawinan
Landak susu termasuk hewan yang
monogami. Pada umumnya hewan ini adalah hewan soliter, selain ibu-ibu dengan
anak, dan pasangan selama perkawinan. Mereka sering memiliki rumah wilayah di
mana basis pengembaraan mereka di sekitarnya. Betina akan sering berbagi wilayah,
meskipun tetap dalam kebiasaan terpisah dari jantannya. Jantan mungkin lebih teritorial, dan kurang toleran
terhadap jantan lain yang mengintai wilayah yang sama.
Musim
Kawin
Disebutkan bahwa
satwa ini tidak bermusim saat kawin,
artinya tidak ada kecedrungan waktu tertentu untuk melakukan reproduksi. Hanya
saja pada beberapa literatur lainnya disebutkan bahwa musim kawin landak susu
di Amerika berkisar pada bulan November dan Desember.
Minimum dan Maximum Breeding Age
Setelah usia
6 bulan, landak betina secara mental dan kesiapan alat reproduksi sudah matang.
Jangan mengawinkan pada usia terlalu dini, karena dapat merusak organ
reproduksi landak betina, dan akibatnya dia tidak dapat dijadikan indukan yang
baik. Naluri sebagai induk pun bisa jadi belum muncul, sehingga dia tidak akan
mau menyusui anaknya. Selain itu, kemungkinan besar akan muncul anakan yang
tidak sempurna alias cacat. Pengawinan dini juga dikhawatirkan berdampak tidak
baik karena alat reproduksinya belum sempurna, dan apabila dipaksakan kawin,
maka dapat merusak alat reproduksi secara permanen. Selain itu, landak pun bisa
trauma. Apabila terjadi ketrauman’an, maka sudah bisa dipastikan, landak
tersebut tidak akan bisa menjadi indukan yang baik
Estrus
Tidak
diketahui secara persis lama dan siklus estrus pada landak susu. Sama dengan
itu ciri-ciri kehamilan landak satu dengan lainnya, belum tentu sama dan
relatif susah untuk ditandai. Demikian juga dengan membesarnya puting susu
biasanya akan sulit diamati karena kelenjar susu pada landak tidak sebesar pada
mamalia lain seperti anjing. Yang pasti setelah dikawinkan, perlakukanlah
landak betina seperti ibu hamil, dan bersabarlah sampai 42 hari terlewati.
Lewat 42 hari adalah masa yang aman untuk kembali mencampurkan landak betina
dengan pejantannya.
Lama
Kebuntingan dan Jumlah Anak Per Kelahiran
Semasa
kehamilan, sampai melahirkan sebaiknya jantan dan betina dipisah, tiga puluh
lima hari kemudian lahirlah anak-anak landak susu, 4 - 7 ekor sekaligus, tapi
berurutan. Mula-mula masih merah, buta, dan tidak berduri. Akan tetapi,
ajaibnya, dalam beberapa jam saja duri lunak mereka muncul dari dalam kulit.
Setelah beberapa bulan, duri "percobaan" yang masih lunak itu tanggal
untuk diganti dengan duri lain yang lebih keras.
Usia Anak di Sapih
Usia Anak di Sapih
Induk
landak akan memberikan ASIL (air susu ibu landak) secara eksklusif selama 1
bulan, begitu bayi dapat melihat dan siap belajar berjalan, ibu juga akan mulai
proses penyapihan / cerai susu, walaupun ada ibu landak yang akan tetap
menyusui selama anak terus ada disamping induknya. Proses penyapihan ini adalah
yang terpenting dan proses pertama yang dipelajari anak landak: apakah yg
dimakan ibunya, anak landak akan mulai mencoba-coba merangkak masuk ketempat
makanan, pertama-tama akan diketemukan sisa kunyahan si anak, bahkan bekas
lepehan/ muntahan.
Jadi jangan
mencoba memisahkan anak landak dari ibunya saat proses penyapihan belum
selesai. Dan sangat tidak disarankan terburu2 menjual anak landak yang terlalu
kecil. Demikian pula saat anda membeli anakan landak mini, jangan membeli yang
terlalu kecil. Pisahkan anak landak dari ibunya pada usia kira2 dua bulan.
Jarak waktu beranak pada landak susu ± 42 hari atau sekita ± satu bulan
setengah.
Perilaku
Reproduksi
Dihabitat
aslinya, mereka menyambut musim kimpoi (mating) dengan teriakan riuh rendah
para jantan, mirip dengkuran “ehm ehm”. Mereka mulai berubah bentuk, kelenjar kelaminnya
membengkak, sampai perutnya membuncit. Tetapi perut buncit ini justru membuat
mereka seksi di mata para betina. Landak jantan pamer perut buncitnya sambil
mengelilingi betinanya terus-menerus, diiringi dengkuran secara berkala yang
ritmis, sampai betina yang dirayu akhirnya merebahkan semua duri tegangnya.
Rayuan
berakhir dan diikuti acara percumbuhan, berupa ambus-ambus (saling menyentuh
hidung masing-masing). Selesai acara ini, perkimpoian dimulai, mereka akan
saling mengigit bahkan sampai berdarah-darah sambil mendesis. Yang jantan akan
mengelilingi yang betina beberapa jam sebelum acara kimpoi (mating), setelah
mengelilingi 10-12 kali, akhirnya yang betina tunduk, merebahkan durinya dan si
jantan berpegang pada bahu si betina dengan mengigitnya dan terjadilah proses
alami yang akan menghasilkan regenerasi.
KESIMPULAN
Pada
dasarnya baik ular piton ( Phyton
reticulatus), tekukur biasa (Streptopelia
chinensis) dan landak susu (African Pygmy Hedgehog)
memiliki ciri tersendiri terhadap biologi reproduksinya, baik itu dari tipe
perkawinan, musim kawin, minimum dan maximum breeding age, estrus, sampai pada perilaku reproduksinya.
Kesemuanya itu menjadi pembeda pada satiap jenis satwa.
Perbedaan
itu bukan hanya ditengarai karena ketiganya berasal dari kelas yang berbeda
namun dalam satu kelas pun rata-rata terdapat perbedaan yang mencirikan bioreproduksi
satwa tersebut. Sebut saja tipe perkawinan, ada yang monogamus, ada pula yang
poligamus. Kemudia musim kawin, ada yang bermusim atau pada waktu tertentu
saja, ada yang tidak bermusim, atau pula yang hanya terjadinya pada bulan-bulan
tertentu. Ini semua kembali pada spesies satwanya masing-masing serta pengaruh
lingkungannya mulai dari makanan sampai kepada faktor kondisi iklim yang sedang
berlangsung.
Sederhana
pembeda antara jenis reptil, aves dan mamalia diatas terlihat dari sistem
reproduksinya. Pada Phyton reticulatus
dan Streptopelia chinensis
bereproduksi dengan cara bertelur. Sementara itu landak susu, akan menghasilkan
anak dengan cara melahirkan sehingga ia tidak melalui fase inkubasi atau
pengeraman telur.
Disisi
lainnya diperoleh bahwa Phyton
reticulatus termasuk satwa yang poligamus, yakni kawin dengan banyak
pasangan dalam satu musim kawin. Sementara itu Streptopelia chinensis termasuk dalam katagori monogamous temporalis (satu
pasangan dalam satu musim kawin dan dapat berganti pasangan pada musim
selanjutnya) dan African Pygmy Hedgehog
termasuk satwa yang soliter sehingga cendrung, monogamus.
Terhadap
usia breeding, ketiga satwa ini
memiliki waktu yang berbeda-beda, tergantung dari kematangan alat reproduksi
serta pengaruh lingkungan. Semakin kecil ukuran badan pada umumnya, pada
spesies yang sama, maka minimum dan maximum breeding
age relatif semakin cepat.
Tidak
semua satwa mengalami masa estrus. Pada umumnya satwa mamalia (menyusui)
mengalami masa ini, begitu pula pada jenis primata. Kemudian pula tidak mudah
untuk mendeteksi lama dan siklus estrus ini karena pada beberapa jenis relatif
terjadi begitu cepat dan singkat.
Bila
dibandingkan atau membedakan antara usia sapih, waktu bertelur/ beranak juga
perilaku reproduksi, ketiga satwa di atas sangatlah berbeda. Terdapat
karakteristik masing-masing yang menjadi pembeda di antara ketiganya. Hal ini
terlihat jelas terutama pada perilaku reproduksi. Masing-masing satwa tersebut
memiliki gaya akrobatik tersendiri dalam menarik perhatian betina sebelum
kawin, mulai dari gerakan memutar, mengeluarkan feromon, sampai pada
mengeluarkan bunyi-bunyi yang dapat menarik perhatian lawan jenisnya. Serupa dengan
itu tahapan-tahapan yang dilewati sampai pada saat setelah fertilisasi
berlangsung, juga berbeda.
DAFTAR
PUSTAKA
Alcock J. 1989. Animal
Behavior. An Evolutionary Approach. Sunderland. Massachusetts. Ainauer
Associates Inc, Publisher.
Etches
RJ. 1996. Reproduction in Poultry. Cab International. Canada.
Gillingham JC, Carpenter C, Brecke BJ, Murphy JB.
1977. Courtship and Copulation Behaviour of The Mexican Milksnake
Lampropeltis triangulum sinaloae (Colubridae). Southwest Nat. 22: L. 185-194.
Grimes, J.L. 1994. The effect of protein
level fed during the prebreeder period on performance of Large White Tukey
Breeder hens after an induced molt. J. Poultry Sci., 73: 37-44.
Junaedi. 1999. Aspek Reproduksi ular sanca karpet (Morelia
spilota spp). [Skripsi]. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor:
Bogor.
Masy’ud B.1989. Memperbaiki habitat Satwaliar. Media
Konsevasi (II): Hal 39-47.
Nalbandov AV. 1990. Fisiologi Reproduksi
pada Mamalia dan Unggas. Edisi Ketiga. Jakarta. UI Press.
Pakihudin A. 2002. Cara perawatan Ular Sanca
(Python) sebagai Hewan Kesayangan. Teknis Medis Veteriner. [Skripsi]. Fakultas
Kedokteran Hewan, Insitut Pertanian Bogor: Bogor.
Pamungkas RB. 2001.Ular Sanca Batik (Python
reticulaus) di Taman Reptilia Tama Mini Indonesia Indah. [Skripsi].
Fakultas Kedokteran Hewan, Insitut Pertanian Bogor: Bogor.
Parker JE. 1969. Reproduction Physiology
in Poultry. Dalam Reproduction in Farm Animals. Second Edition. Editor
ESE. Hafez. Lea & Febiger, Philadelphia. Pp235-254.
Ross, Richard A, Marzec G. 1990. The
Reproductive Husbandry of Pythons an Boas. Institute for Herpetoligal
Research.Stanford. California.
Sentanu AB. 1999. Studi Penangkaan dan Perilaku
Kawin Ular Sanca Hijau (Morelia viridis) di CV Terraria Indonesia.
[Skripsi]. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Short LL. 1993. The
Lives of Bird. Birds of The World and Their Behavior. New York. Henry Honlt and
Company.
Alcock J. 1989. Animal Behavior.
An Evolutionary Approach. Sunderland. Massachusetts. Ainauer Associates Inc,
Publisher.
Sibley CG & JE
Ahlquist. 1990. Phylogeny and Clasification of Birds. A Study in Molecular
Evolution. New Haven & London. Yale University Press.
Suharmono. 1998. Aspek Reproduksi Kadal Lidah Biru
(Tiliqua sp.). [Skripsi]. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Tanudimadja K, Kusumamihardja S. 1985. Perilaku
Hewan Ternak. IPB Press: Bogor.
Toelihere MR. 1985.
Inseminasi Buatan Pada Ternak. Bandung. Penerbit Angkasa.
PROMO SPESIAL SABUNG AYAM ONLINE BONUS 100% SETIAP HARI !
BalasHapusNikmati Promo Spesial Bonus 100% Khusus untuk Permainan Sabung Ayam Online yang di siarkan secara Live (Langsung) dari Arena yang berlokasi di Negara Filipina !
Pertandingan di liput secara live oleh kru proffesional dari Laga Tournament yang di adakan di negara tersebut ! Minimal Deposit hanya IDR 50.000,- Dan Untuk Taruhannya minimal IDR 20.000,- Saja.
Dapat di tonton melalui Aplikasi Khusus yang tersedia, Dapat anda download dan Instal di Smartphone Android / iOS kesayangan anda !
Download S128 APK » Download Aplikasi Sabung Ayam
Tersedia :
» Sabung Ayam S128
» Sabung Ayam SV388
Menerima Transakdi Deposit & Withdraw Menggunakan OVO | GOPAY | LINKAJA | DANA | PULSA dan SEMUA JENIS REKENING BANK DI INDONESIA.
Promo Spesial Bonus Sabung Ayam 100% Dapat anda klaim dengan Kode Promo #pemainayam , Hubungi Kontak Cs kami yang online 24 Jam dibawah ini :
» Nomor WhatsApp : +62812–2222–995
» ID Telegram : @bolavitacc
» ID Wechat : Bolavita
» ID Line : cs_bolavita
Jangan Lupa Klaim Bonusnya Menggunakan Kode Promo Spesial 100% #pemainayam
BalasHapusKini Agen Judi Online Bolavita Menyediakan Segala Jenis Transaksi Deposit & Withdraw Menggunakan Dompet Digital (E-wallet) yang ada di Indonesia.
Tersedia Judi Online Deposit Pakai Linkaja, Ovo, Dana, Sakuku. Gopay. Selain Menyediakan Judi Online Deposit Via Pulsa dan Semua Jenis Rekening Bank di Indonesia.
Bolavita Menyediakan Judi Online Yang Cukup Lengkap. Antara Lain Adalah :
• Judi Sabung Ayam Live
• Judi Casino Live
• Judi Bola / Sportsbook
• Judi Slot Online
• Judi Bola Tangkas
• Judi Poker Online
• Judi Domino
• Judi Ceme / Capsa Susun
• Judi Tembak Ikan Online
• Judi Togel Online
Promo Bonus :
» Bonus Deposit Pertama 10%
» Bonus Deposit Harian 5%
» Bonus Cashback Mingguan 5% - 10%
» Bonus Rollingan Mingguan 0.8%
» Bonus Referral 7% + 2%
Daftar & Klaim Bonusnya Sekarang Juga !
Kontak Resmi (Online 24 Jam Setiap Hari) :
» Nomor WhatsApp : 0812–2222–995
» ID Telegram : @bolavitacc
» ID Wechat : Bolavita
» ID Line : cs_bolavita