Jumat, 01 Juni 2012

HOTSPOT


Nama  : Arya Arismaya Metananda

Pengertian Hotspot
Kebakaran hutan dan lahan dapat dipantau dengan menggunakan data AVHRR-NOAA (Advanced Very High Resofution Radiometet- National Oceanic and Atmospheric Adminlstration) yaitu melalui pengamatan hotspot. Hotspot merupakan titik-titik panas di permukaan bumi, dimana titik-titik tersebut merupakan indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan (Arief, 1997 dalam Ratnasari, 2000). Menurut LAPAN (2004a) hotspot atau titik panas adalah parameter yang diturunkan dari data satelit dan dindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan. Parameter ini sudah digunakan secara meluas baik di Indonesia maupun negara-negara lain untuk memantau kebakaran hutan dan lahan dari satelit.
Hotspots mengindikasikan lokasi kebakaran vegetasi seperti terlihat pada monitor komputer atau peta yang dicetak, atau ketika dicocokkan dengan koordinatnya. Hal ini merupakan istilah yang sangat populer pada awal-awal pengenalan penggunaan citra NOAA untuk mendeteksi kebakaran vegetasi. Istilah yang lain lebih jelas untuk menggambarkan titik kebakaran adalah fire-spot dan berbagai kalangan mengusulkan bahwa sebenarnya banyak titik api tidak mengindikasikan kebakaran. Bagi semua penggunaan praktis sebuah hotspot searti dengan fire-spot (Anderson, et al., 1999a)
Sensor AVHRR didisain untuk aplikasi ilmu meteorologi dan kelautan. Untuk dapat digunakan sebagai pendeteksi kebakaran, dilakukan modifikasi khusus pada alogaritma spektralnya. Saluran (channel) yang paling sesuai untuk pendeteksian kebakaran adalah dua saluran infra merah "thermal" yang pertama, yaitu saluran 3 dan 4. Proses pendeteksian kebakaran berdasarkan pada pengukuran temperatur permukaan bumi yang diperoleh dari saluran 3. Sebuah piksel dideteksi sebagai piksel kebakaran atau hotspots ketika saluran 3 dipenuhi oleh temperatur spesifik vegetasi yang terbakar (Malingreau, 1990 dalam Redhahari, 2001). Lebih lanjut, Ratnasari (2000) menjelaskan bahwa data hotspot dari citra NOAA-AVHRR dapat dijadikan sebagai indikasi kebakaran hutan/lahan, baik kebakaran tajuk (Crown fire), kebakaran permukaan (Surface fire) maupun kebakaran bawah (Ground fire). Daerah sekitar lokasi hotspot merupakan daerah yang rawan terhadap kebakaran, oleh sebab itu di daerah tersebut sebaiknya tidak dilakukan kegiatan pembakaran.
Pada keadaan normal suhu kecerahan (Brightness temperature) dari piksel citra NOAA-AVHRR band 3 (Tb3) selalu lebih kecil dan Brightness temperature band 4 (Tb4). Apabila Tb3>Tb4 maka terjadi anomali yang disebabkan oleh adanya sumber panas seperti kebakaran hutan atau dapat juga karena pengaruh kilauan matahari (sunglind). Apabila Tb3-Tb4>20 maka piksel tersebut adalah hotspot, karena dari pengalaman beberapa tahun untuk seri NOAA 12 dan NOAA 14 konstanta sebesar 20 dilapangan mendekati kebenaran (Musawijaya, 1998 dalam Ratnasari, 2000). Musawijaya (1998) dalam Ratnasari (2000) menambahkan bahwa pengamatan hotspot beserta lokasinya dilakukan pada malam hari dengan menggunakan band 3. Kenampakan hotspot pada Citra NOAA_AVHARR sangat bervariasi. Pertama, interpretasi akan lebih mudah dilakukan bila menggunakan data malam hari dibandingkan data siang hari, karena pantulan sinar matahari dari awan dan asap dapat mengaburkan kenampakan dari hotspot. Kedua, mudah tidaknya mendeteksi hotspot tergantung pada ukuran obyek yang terbakar. Kebakaran hutan/ lahan yang besar/ luas akan sangat mudah diidentifikasi pada Citra NOAA-AVHRR band termal. Ketiga, hotspot yang sangat kecil seringkali sulit dideteksi karena bercampur dengan latar belakang dari citra.
Pemanfaatan Data Hotspot
Satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), yang dibuat dan diluncurkan oleh National Aeronautics and Space Adrtinistration(HASA-USA) dengan tujuan untuk pemantauan iklim dan cuaca tersebut, sering digunakan untuk pendeteksian kebakaran di wilayah tersebut. Hal ini dikarenakan sensornya yang dapat membedakan suhu permukaan di darat ataupun laut. Kelebihan lain adalah seringnya satelit-satelit tersebut (ada 3 satelit yang beroperasi-NOAA 12,16 dan 17) mengunjungi tempat yang sama yaitu 2 kali sehari, siang dan malam. Dengan demikian data yang cukup aktual (near real time) tersebut sangat bermanfaat bagi tim pemadam kebakaran untuk mengetahui lokasi kebakaran secara cepat. Dengan cepatnya mengetahui informasi lokasi kebakaran, maka tindakan pemadaman dini dapat dilakukan sebelum kebakaran tersebut menjadi lebih besar dan sulit dikendalikan (Solichin, 2004a).
Satelit NOAA memiliki cakupan yang sangat luas. Hal ini memungkinkan user (pengguna) mampu menganalisa wilayah yang sangat luas dalam waktu yang relatif singkat. Cakupan stasiun penerima NOAA Si Pongi di Jakarta misalnya, meliputi Pulau Sumatera, Borneo dan Semenanjung Malaysia. Keuntungan lainnya adalah harganya yang relatif murah. Sebenarnya penggunaan satelit NOAA tidak dikenai biaya apapun namun untuk mendapatkan citra (foto) dari satelit tersebut diperlukan hardware dan software yang cukup mahal. Di Indonesia stasiun penangkap satelit NOAA ada 7 stasiun, salah satunya berada di Palembang, yaitu di kantor Balai Pengukuhan Kawasan Hutan (BPKH ll) yang merupakan bantuan dari Uni Eropa dan satu-satunya di pulau Sumatera. Namun sayangnya, stasiun tersebut dalam keadaan tidak berfungsi baik akibat kerusakan pada salah satu komponen motor penggerak antena (Solichin, 2004a)
Data hotspot saat ini dapat dengan mudah diakses oleh berbagai kalangan. Akses mudah, murah dan cepat dengan melalui internet pada berbagai sumber penyedia informasi data hotspot. Salah satu penyedia layanan tersebut yaitu FFPMP, Forest Fire Prevention Management Piqiect, (proyek kerja sama Dephut dan JICA) dengan sistem penyebaran informasi. Berbagai kelebihan dari data Citra NCOA di atas, maka banyak kalangan memakainya khususnya untuk kegunaan pemantauan iklim dan kebakaran hutan dan lahan. Beberapa aplikasi data hotspot dari satelit NOAA dapat dijelaskan sebagai berikut:
·      Prediksi Hotspot dan Asap Kebakaran
Jika perilaku kebakaran hutan dan lahan di berbagai daerah telah dipahami dan perilaku asapnya pada berbagai kondisi udara/ cuaca telah diketahui, maka hal ini dapat dijadikan dasar dalam memprediksi kebakaran hutan dan lahan. Prediksi diperlukan untuk mengetahui pertambahan/ pengurangan jumlah hotspot dalam bulan-bulan yang akan datang dan mengetahui sebaran asapnya apakah akan makin berkembang menjadi kondisi yang mengkhawatirkan dalam bulan-bulan yang akan datang atau sebaliknya kebakaran hutan dan lahan akan mereda sehingga tidak perlu dikhawatirkan terjadinya pencemaran asap yang dapat mencapai lintas batas negara (transboundary haze pollution).
Untuk dapat memprediksi perkembangan jumlah hotspot dan penyebaran asapnya merupakan hal tidak mudah. Hal ini mengingat bahwa kebakaran hutan dan lahan merupakan masalah yang sangat kompleks yang melibatkan faktor-faktor alam (cuaca/ iklim, bahan bakaran) maupun manusia (kegiatan pemanfaatan lahan, ekonomi, dan budaya) dan bahkan kelembagaan. Namun untuk mempermudah prediksi, maka dapat digunakan konsep peluang. Peluang yang dimaksud mencakup jumlah hotspa pada bulan-bulan mendatang di beberapa daerah yang rawan kebakaran dan peluang pencemaran asap dari kebakaran hutan dan lahan. Adapun analisisnya dilakukan berdasarkan pada berbagai jenis data historis maupun prediksi dari sumber-sumber yang cukup dapat diandalkan (LAPAN, 2004a)
·      Deteksi Kejadian Kebakaran (Active Fire)
Penginderaan jauh kebakaran dicapai dengan penggunaan berbagai sistem satelit/ sensor. Sensor yang paling luas digunakan untuk deteksi kebakaran dalam monitoring kebakaran jangka panjang dan skala area yang luas adalah Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) terpasang pada satelit orbit polar NOAA. AVHRR mempunyai dua manfaat utama dalam monitoring kebakaran. Pertama,, cakupan pengamatan di seluruh bumi setiap hari pada resolusi sedang (1 km2) dimana merupakan terdepan dalam operasi monitoring kebakaran global. Kedua, mempunyai kisaran spektral yang luas dari visible (ch. 1, 0.63 um), near-infrared (ch.2, 0.83 um), mid-infrared (ch. 3, 0.37 um) dan gelombang panjang termal (ch. 4-5, 10-12 um). Masing-masing kanal menyangkut pada atribut tertentu dari kebakaran (Li et.al. 1997 dalam Sunuprapto. 2000).
Beberapa proyek yang telah dilakukan di beberapa negara telah dengan sukses mengembangkan sistem deteksi kejadian kebakaran (active fire) utamanya mereka menggunakan data hotspot dari NOAA AVHRR mempertimbangkan keunggulan sistem NOAA. Tetapi alasan paling penting penggunaan sistem ini adalah penyediaan data yang berbasis harian pada harga yang pantas, khususnya ketika sistem seperti itu harus diaplikasikan untuk negara-negara sedang berkembang. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa stasiun penerima NOAA: Palembang Sumatera (MoF-EU), Bogor Jawa (MoF-JICA), Samarinda Kalimatan (MoF-GTZ), Jakarta Jawa (LAPAN-Bappedal). Sistem serupa juga dikembangkan pada negara-negara sedang berkembang agar dapat mendeteksi kejadian kebakaran dalam basis harian (Sunuprapto, 2000).
Deteksi kejadian kebakaran yang paling cepat dalam penyediaan dan distribusi datanya yaitu data hotspot, baik berupa lokasi hotspot (letak geografis) maupun peta sebaran hotspot. Data hotspot bahkan tersedia secara bebas dan mudah di akses dari internet. Sumber-sumber data hotspot yang dapat diakses dengan mudah seperti LAPAN (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional), Departemen Kehutanan Republik Indonesia, FFPMP (Forest Fire Prévention Management Project -MoF-JICA) dan sumber lain dari luar negeri. Gambar 2. memperlihatkan sebaran hotspot yang diolah dari citra NOAA.
·      Pemetaan Tingkat Rawan Kebakaran
Kajian tingkat kerawanan kebakaran dengan menggunakan data hotspot telah dilakuakan oleh LAPAN (2004b). Berdasarkan analisis terhadap curah hujan, NDVl (Normalized Difference Vegetation Indeks) atau Indeks Vegetasi, jenis penutup lahan, jenis lahan, dan jarak terhadap jalan dan sungai yang digabungkan dengan analisis frekuensi hotspot, baik secara temporal maupun spasial, diperoleh bahwa setiap faktor memberikan kontribusi yang berbeda terhadap potensi terjadinya kebakaran hutan.
Dari analisis diperoleh bahwa NDVl merupakan representasi dari keadaan bahan bakar, baik dari sisi tingkat kehijauan vegetasi hidup maupun serasah. Oleh sebab itu parameter NDVl memberikan kontribusi terbesar terhadap kerawanan kebakaran hutan. Selanjutnya curah hujan merupakan parameter penentu tingkat kadar air bahan bakar. Pada keadaan NDVl dan jenis bahan bakar yang sama, curah hujan yang berbeda memberikan pengaruh kadar air yang berbeda terhadap bahan bakar (vegetasi hidup maupun serasah), sehingga curah hujan memberikan kontribusi terbesar kedua sesudah NDVl. Jenis penutup lahan memberikan kontribusi terhadap frekuensi hotspot terutama karena berkaitan dengan aktivitas konversi lahan. Dari peta hotspot tahun 1996 hingga 2002 menunjukkan bahwa frekuensi hotspot terbesar terjadi pada lahan pertanian, diikuti hutan sekunder, semak belukar, dan perkebunan. Faktor keempat yang menentukan kerawanan kebakaran adalah jenis lahan yang berdasarkan peta UNEP (2002), sumatera secara garis besar dibedakan atas lahan kering dan lahan gambut (LAPAN, 2004b)
Berdasarkan faktor-faktor tersebut telah disusun kriteria dan bobot untuk menentukan tingkat kerawanan kebakaran hutan. Kelas kerawanan kebakaran hutan dibagi atas 6 kelas yang menunjukkan tingkat kemudahan untuk terbakar mulai dari sangat sulit hingga sangat mudah, sehingga kelas kerawanan kebakaran hutan dibagi atas: sangat rendah, rendah, sedang, agak tinggi, tinggi, dan sangat tinggi. Selanjutnya peta kerawanan kebakaran hutan berbasis sistem informasi geografis telah dibuat dengan menggunakan perangkat lunak ArcView.
·      Permasalahan pemanfaatan data hotspot
Berbagai aplikasi data hotspot untuk kepentingan pemantauan kondisi hutan dan lahan dirasa banyak memiliki kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut bahkan membuat kualitas input bagi pengambilan keputusan menjadi bias sehingga informasi yang disebarluaskan ke masyarakat kurang valid. Beberapa kelemahan dari data hotspot dapat diuraikan sebagai berikut:
1.      Karaktristik Data
Pertama, kelemahan pada sensor satelit NOAA. Menurut SSFFMP (2004), eberapa kelemahan tetap melekat pada satelit NOAA. Salah satunya adalah sensornya yang tidak dapat menembus awan, asap atau aerosol. Kelemahan tersebut sebenarnya terjadi pada semua satelit yang memiliki sensor optis (sinyal pasif ). Berbeda dengan sensor radar yang memiliki sinyal aktif dan dapat menembus awan serta dapat berfungsi juga pada malam hari. Kelemahan tersebut akan sangat merugikan bila kebakaran besar terjadi sehingga wilayah tersebut tertutup asap. Kejadian seperti itu sangat sering sekali terjadi di musim kebakaran, sehingga jumlah hotspot yang terdeteksi jauh lebih rendah dari yang seharusnya. Karena itu untuk mengurangi kesalahan, informasi tentang penutupan awan atau asap diperlukan pula sebagai informasi tambahan.
Kedua, resousi spasial yang rendah pada citra NOAA. Rendahnya resolusi citra NOAA, yaitu sekitar 1,1 km x 1,1 km, juga merupakan kelemahan yang sangat mendasar dari sistem pendeteksian kebakaran. Dalam luasan sekitar 1 km persegi tersebut, kita tidak dapat mengetahui di mana lokasi kebakaran secara persis. Selain itu, walaupun jumlah titik kebakaran dalam luasan tersebut lebih dari satu, maka luasan tersebut tetap akan diwakili oleh sebuah titik hotspot dengan lokasi tepat di tengah luasan persegi tersebut. Karena Itu, penentuan luasan daerah yang terbakar berdasarkan data hotspot satelit NOAA sebaiknya tidak dilakukan karena akan menyebabkan bias yang sangat besar.
Karena sifatnya yang sensitif terhadap suhu permukaan bumi ditambah dengan resolusinya yang rendah, kesalahan perkiraan titik kebakaran cukup sering terjadi. Misalnya cerobong api dari tambang minyak atau gas seringkah terdeteksi sebagai hotspot. Namun dengan pengalaman operator, hal ini dapat diatasi. Kasus lain, areal tanah kosong yang relative lebih panas dibandingkan daerah sekitar yang bervegetasi juga dapat terdeteksi sebagai hotspot. Pembakaran untuk menyiapkan ladang sebelum ditanam juga dapat terdeteksi sebagai hotspot. Hal ini sangat sering terjadi di wilayah-wilayah pasang surut di Sumatera Selatan yang banyak menerapkan sawah padi sonor atau lebak lebung.
2.      Standar Pengamatan dan Pemrosesan Citra NOAA
Perbedaan hasil data hotspot juga diakibatkan oleh belum adanya standar internasional, khususnya dalam sistem pendeteksian hotspot. Dari hasil inventarisasi permasalahan mengenai pengamatan dan pemrosesan Citra NOAA yang ada khususnya pada kegiatan dan metodologi deteksi dan pemantauan kebakaran hutan/lahan dengan data hot spot maka dapat diuraikan beberapa masalah sebagai berikut:
Pertama, perbedaan penentuan threshold antar stasiun pengamat. Perbedaan jumlah hotspot yang terpantau biasanya disebabkan karena algoritma yang digunakan oleh setiap stasiun bumi yang berlainan misalnya ambang batas (threshold) suhu yang digunakan untuk menentukan sebuah titik adalah hotspot atau bukan. Menurut Hidayat, et. al. (2003), adanya perbedaan jumlah hotspot yang dihasilkan oleh beberapa stasiun pengamatan sering kali dikeluhkan oleh pengguna informasi hotspot terutama oleh Kementerian Lingkungan Hidup (d/h BAPEDAL).
3.      Sistem Distribusi Data
Kecepatan pengiriman data hasil olahan juga sangat penting, Khususnya bila menjelang atau pada saat musim kebakaran terjadi. Hal ini seringkah menjadi kendala di dalam menentukan strategi pengelolaan kebakaran di lapangan. Semakin cepat informasi diterima, semakin memudahkan stakeholder di dalam melakukan tindakan yang sesuai. Panjangnya rantai distribusi juga menyebabkan keterlambatan informasi yang diterima di tingkat lapangan. Karenanya seiring dengan proses desentralisasi, rantai distribusi perlu dipersingkat lagi, misalnya data instansi pengolah data dapat dikumpulkan atau diterima langsung di tingkat kabupaten atau perusahaan terkait (Solichin, 2004b).
Hal lain yang terkadang menjadi kendala adalah saat sebuah instansi pengolah data mengalami kendala teknis sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk memperbaiki dan tidak memungkinkan untuk mengirimkan data tepat pada waktunya. Dalam kondisi seperti ini, ketergantungan terhadap satu sumber data akan menyulitkan di dalam kegiatan lapangan. Karenanya menggunakan beberapa sumber data juga dapat dipertimbangkan atau dimanfaatkan sebagai sistem cadangan (back-up system)
4.      Keberlanjutan Ketersediaan Data
Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa tingkat keberlanjutan sebuah proyek bantuan luar negeri di Indonesia seringkali cukup rendah, khususnya bila terkait dengan perawatan dan perbaikan peralatan yang canggih dan sangat mahal. Proyek FFPCP (Forest fire Prévention and Controi Project) yang didanai oleh Uni Eropa telah melakukan investasi yang sangat besar sekitar 250 juta rupiah untuk instalasi stasiun penerima satelit NOAA di Palembang. Anggaran yang minim dari instansi pemerintah tidak mungkin melakukan perawatan berkala dan apalagi perbaiakan suku cadang yang harus diimpor dari eropa atau negara maju lainnya. Hal yang sama juga terjadi dengan proyek 1FFM (Integrated Forest Fire Management) Jerman, belum stahun setelah fase hanäling over, tejadi kerusakan pada perangkat keras sistem penerima satelit NOAA yang menyebabkan kegagalan menangkap sinyal (Solichin, 2004b)
Karenanya untuk menjamin keberianjutan penyediaan informasi, peningkatan mutu pelayanan oleh instansi pemerintah seperti LAPAN, BPPT, BMG atau Departemen Kehutanan yang memilki kapasitas dan kemampuan di dalam teknologi penginderaan jauh atau data iklim dan cuaca masih terus diperlukan bagi stakeholder di tingkat propinsi dan kabupaten. Inisiatif untuk mendiskusikan standarisasi data dan informasi kebakaran karenanya perlu dimulai lagi.
Masalah lain yang perlu dipertimbangkan adalah teknologi satelit NOAA yang sepertinya mulai digantikan oleh MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradlometer). Satelit NOAA yang sudah dikembangkan sejak tahun 1978, diperkirakan tidak akan dilanjutkan lagi. Sebagai gantinya NASA mengembangkan sensor MODIS yang dibawa oleh satelit Terra dan Aqua. Sebagai salah satu sensor hyperspectral (36 kanal) dengan resolusi menengah (beberpa kanal memiliki resolusi 250 m2). MODIS dapat digunakan untuk pemantauan global dengan berbagai tujuan. Terlebih lagi, NASA membuka akses yang cukup luas bagi pengguna MODIS si seluruh dunia. Kaenanya penggunaan MODIS di dalam pemantauan kebakaran merupakan sebuah langkah yang harus dikembangkan di masa depan (Solichin, 2004b)

Upaya Peningkatan Kualitas Data Hotspot
Mengingat keterbatasan tersebut di atas, maka beberapa hal perlu dketahui dan dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas data hotspot untuk aplikasi pemantauan kebakaran hutan antara lain :
1.    Perbandingan jumlah hotspot antar stasiun pasti terjadi, mengingat adanya perbedaan ambang batas suhu dan penggunaan satelit (terkait dengan waktu lintasan). Diperlukan standar internasional untuk dapat menghasilkan informasi yang yang tidak berbeda jauh pada lokasi monitoring kebakaran yang sama.
2.    informasi jumlah hotspot hanya dapat digunakan sebagai penentu tingkat bahaya yang terjadi bila didukung oleh informasi tentang peringkat bahaya kebakaran yang didasari atas informasi cuaca.
3.    Dalam kaitannya dengan kegiatan sistem peringatan dan deteksi dini, cek lapangan harus tetap dilakukan. Pengecekan langsung di lapangan sangat diperlukan, terutama di perusahaan perkebunan atau HTI, pengawasan melalui patroli atau menara api masih sangat diperlukan. Menurut Hiroki dan Prabowo (2003) dalam Suratmo et al. (2003), hasil dari cek lapangan ini bisa dipakai juga sebagai umpan balik (feed back) untuk lebih menyempurnakan sistem deteksi yang digunakan (misalnya untuk penentuan nilai ambang yang lebih sesuai/ tepat). Dengan demikian, maka sistem deteksi ini akan terus berkembang menjadi lebih sempurna dan dapat menghasilkan interpretasi dengan tingkat ketelitian yang lebih baik
4.    Informasi hotspot sangat baik digunakan sebagai indikasi tingkat kebakaran secara umum, karenanya analisa lanjutan dengan menumpangtindihkan dengan peta-peta lain seperti batas penggunaan lahan atau penutupan lahan memberikan informasi yang baik tentang perlu tidaknya melakukan pemadaman secara cepat.
5.    Pengembangan kerja sama antar instansi pemerintah daerah, instansi teknis penyedia data (LAPAN, BMG, BAPEDAL) dan lembaga sumber data agar system distribusi dan keberlanjutan data bisa terjamin.
6.    Tidak mungkin menentukan luasan areal yang terbakar berdasarkan penyebaran kumulatif titik-titik hotspot tersebut, oleh karena itu perlu mengintegrasikan data hotspot dengan analisis lanjutan menggunakan sistem penginderaan jauh dan sistem informasi geografis. Hal ini bisa dilakukan dengan memadukan hotspot dengan citra Landsat TMM Citra SPOT dan lain-lain, untuk memperoleh analisa secara spasial dan permodelan dari indikasi yang diperlihatkan oleh data hotspot. 7 MODIS dapat digunakan sebagai alternatife da:a 'ain selain NOOA untuk untuk pemantauan global khususnya deteksi kebakaran hutan dan lahan. Terlebih lagi, NASA membuka akses yang cukup luas bagi pengguna MODIS si seluruh dunia. Karenanya penggunaan MODIS di dalam pemantauan kebakaran merupakan sebuah langkah yang harus dikembangkan di masa depan.
7.    Pemanfaatan informasi yang disediakan oleh berbagai lembaga luar negeri, juga perlu dipertimbangkan sebagai salah satu sumberdata reguler, mengingat sumber yang berasal dari luar negeri seperti Singapura, Malaysia atau Amerika Serikat, biasanya cenderung lebih stabil dan berkelanjutan. Hal ini biasanya didukung dengan komitmen yang tinggi dalam hal pengorganisasian dan penyediaan anggaran untuk perawatan serta pengembangan teknologinya.






DAFTAR PUSTAKA
Anderson, I P, Manda, I D dan Muhnandar. 1999a. Vegetation Fires in Sumatera Indonesia: The Presentasion and Distribution of NOAA-Derived Data. Palembang: Forest Fire Prevention and Control Project. European Union and Indonesian Ministry of Forestry and Estate Crops
_. 1999b. Vegetation Fires in Indonesia: The The fire History of The
Sumatera Provinces 1996 - 1998 as A predictor of Future Areas at Risk. Forest Fire Prevention and Control Project. European Union and indonesian Ministry of Forestry and Estate Crops. Palembang.
Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan. 2001. Perangkat Organisasi Penanggulanagn Kebakaran Hutan Propinsi dan Kabupaten/Kota. Makalah dalam Pelatihan Kebakaran Hutan Tingkat Manajemen Medan, 26 - 27 Juni 2001. Medan: Unit Manajemen Leuser
[FFPMP2] Forest Fire Prevention and Management Project (phase 2) 2004. Sistem Deteksi dan Peringatan Dini. http://frpmp2 hp.infoseek.co |p/ earlypageindo.htm [30 April 2011]
Hidayat, A. Kushardono D, Asriningrum W, Zubaedah A dan Efendy, I. 2003. Laporan Verifikasi dan Validasi Metode Pemantauan Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan dan Kekeringan. Jakarta: Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh-LAPAN.
[LAPAN] Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional. 2004a. Kebakaran Hutan/Lahan Dan Sebaran Asap di Sumatera dari Data Satelit Lingkungan dan Cuaca. Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). httDV/wwwJaDanjs.com/SMfiA/smba php?hab3&dala id=hn hr 2004062 6 all [30 April 2011]
Ratnasari, E. 2000. Pemantauan Kebakarn Hutan dengan Menggunakan Data Citra NOAA-AVHRR dan Citra Landsat TM: Studi KAsus di Daerah Kalimantan Timur, [skripsi]. Bogor. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
Redhafiari. 2001. Pembangunan Sistem Peringatan Dini Kebakaran Hutan dengan indeks Kekeringan Keetch/Byram dan Sistem Informasi Geografis di Kalimantan Timur, [tesis]. Samarinda : Program Pascasarjana Magister, Universitas Muiawarman.
Solichin. 2004a. Hotspot Tidak Selalu Titik Kebakaran (Mengenal Hotspot Bagian 1). Palembang: South Sumatera Forest Fire Management Project (SSFFMP) Newsletters Hotspot,. Februari 2004; 1:2-3.
Sunuprapto, H. 2000. Forest Fire Monitoring and Damage Assesment Using Remotely Sensed Data and Geographical Information Systems (A Case Study in South Sumatera Indonesia). rjhesisj. Enschede The Netherlands: Internasöonal Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC) (tidak dipublikasi).
Suratmo, G, Jaya, INS dan Husaeni. EA. 2003. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor: IPB Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar