Nama : Arya
Arismaya Metananda
Pengertian Hotspot
Kebakaran hutan dan lahan
dapat dipantau dengan menggunakan data AVHRR-NOAA (Advanced Very High
Resofution Radiometet- National Oceanic and Atmospheric Adminlstration) yaitu
melalui pengamatan hotspot. Hotspot merupakan titik-titik panas di permukaan
bumi, dimana titik-titik tersebut merupakan indikasi adanya kebakaran hutan dan
lahan (Arief, 1997 dalam Ratnasari, 2000). Menurut LAPAN (2004a) hotspot atau
titik panas adalah parameter yang diturunkan dari data satelit dan dindikasikan
sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan. Parameter ini sudah digunakan secara
meluas baik di Indonesia maupun negara-negara lain untuk memantau kebakaran
hutan dan lahan dari satelit.
Hotspots mengindikasikan
lokasi kebakaran vegetasi seperti terlihat pada monitor komputer atau peta yang
dicetak, atau ketika dicocokkan dengan koordinatnya. Hal ini merupakan istilah
yang sangat populer pada awal-awal pengenalan penggunaan citra NOAA untuk
mendeteksi kebakaran vegetasi. Istilah yang lain lebih jelas untuk
menggambarkan titik kebakaran adalah fire-spot dan berbagai kalangan
mengusulkan bahwa sebenarnya banyak titik api tidak mengindikasikan kebakaran.
Bagi semua penggunaan praktis sebuah hotspot searti dengan fire-spot (Anderson,
et al., 1999a)
Sensor AVHRR didisain untuk
aplikasi ilmu meteorologi dan kelautan. Untuk dapat digunakan sebagai
pendeteksi kebakaran, dilakukan modifikasi khusus pada alogaritma spektralnya. Saluran
(channel) yang paling sesuai untuk pendeteksian kebakaran adalah dua
saluran infra merah "thermal" yang pertama, yaitu saluran 3 dan 4.
Proses pendeteksian kebakaran berdasarkan pada pengukuran temperatur permukaan
bumi yang diperoleh dari saluran 3. Sebuah piksel dideteksi sebagai piksel
kebakaran atau hotspots ketika saluran 3 dipenuhi oleh temperatur
spesifik vegetasi yang terbakar (Malingreau, 1990 dalam Redhahari, 2001). Lebih
lanjut, Ratnasari (2000) menjelaskan bahwa data hotspot dari citra NOAA-AVHRR
dapat dijadikan sebagai indikasi kebakaran hutan/lahan, baik kebakaran tajuk (Crown fire), kebakaran
permukaan (Surface fire) maupun
kebakaran bawah (Ground fire).
Daerah sekitar lokasi hotspot merupakan daerah yang rawan terhadap
kebakaran, oleh sebab itu di daerah tersebut sebaiknya tidak dilakukan kegiatan
pembakaran.
Pada keadaan normal suhu kecerahan (Brightness temperature) dari piksel
citra NOAA-AVHRR band 3 (Tb3) selalu lebih kecil dan Brightness temperature band 4 (Tb4). Apabila Tb3>Tb4 maka
terjadi anomali yang disebabkan oleh adanya sumber panas seperti kebakaran
hutan atau dapat juga karena pengaruh kilauan matahari (sunglind). Apabila
Tb3-Tb4>20 maka piksel tersebut adalah hotspot, karena dari pengalaman
beberapa tahun untuk seri NOAA 12 dan NOAA 14 konstanta sebesar 20 dilapangan
mendekati kebenaran (Musawijaya, 1998 dalam Ratnasari, 2000). Musawijaya (1998)
dalam Ratnasari (2000) menambahkan bahwa pengamatan hotspot beserta lokasinya
dilakukan pada malam hari dengan menggunakan band 3. Kenampakan hotspot pada
Citra NOAA_AVHARR sangat bervariasi. Pertama, interpretasi akan lebih mudah
dilakukan bila menggunakan data malam hari dibandingkan data siang hari, karena
pantulan sinar matahari dari awan dan asap dapat mengaburkan kenampakan dari
hotspot. Kedua, mudah tidaknya mendeteksi hotspot tergantung pada ukuran obyek
yang terbakar. Kebakaran hutan/ lahan yang besar/ luas akan sangat mudah
diidentifikasi pada Citra NOAA-AVHRR band termal. Ketiga, hotspot yang sangat
kecil seringkali sulit dideteksi karena bercampur dengan latar belakang dari
citra.
Pemanfaatan
Data Hotspot
Satelit NOAA (National
Oceanic and Atmospheric Administration), yang dibuat dan diluncurkan oleh
National Aeronautics and Space Adrtinistration(HASA-USA) dengan tujuan untuk
pemantauan iklim dan cuaca tersebut, sering digunakan untuk pendeteksian
kebakaran di wilayah tersebut. Hal ini dikarenakan sensornya yang dapat
membedakan suhu permukaan di darat ataupun laut. Kelebihan lain adalah
seringnya satelit-satelit tersebut (ada 3 satelit yang beroperasi-NOAA 12,16
dan 17) mengunjungi tempat yang sama yaitu 2 kali sehari, siang dan malam.
Dengan demikian data yang cukup aktual (near
real time) tersebut sangat bermanfaat bagi tim pemadam kebakaran untuk
mengetahui lokasi kebakaran secara cepat. Dengan cepatnya mengetahui informasi
lokasi kebakaran, maka tindakan pemadaman dini dapat dilakukan sebelum
kebakaran tersebut menjadi lebih besar dan sulit dikendalikan (Solichin, 2004a).
Satelit NOAA memiliki
cakupan yang sangat luas. Hal ini memungkinkan user (pengguna) mampu
menganalisa wilayah yang sangat luas dalam waktu yang relatif singkat. Cakupan
stasiun penerima NOAA Si Pongi di Jakarta misalnya, meliputi Pulau Sumatera,
Borneo dan Semenanjung Malaysia. Keuntungan lainnya adalah harganya yang
relatif murah. Sebenarnya penggunaan satelit NOAA tidak dikenai biaya apapun
namun untuk mendapatkan citra (foto) dari satelit tersebut diperlukan hardware
dan software yang cukup mahal. Di Indonesia stasiun penangkap satelit NOAA ada
7 stasiun, salah satunya berada di Palembang, yaitu di kantor Balai Pengukuhan
Kawasan Hutan (BPKH ll) yang merupakan bantuan dari Uni Eropa dan satu-satunya
di pulau Sumatera. Namun sayangnya, stasiun tersebut dalam keadaan tidak
berfungsi baik akibat kerusakan pada salah satu komponen motor penggerak antena
(Solichin, 2004a)
Data hotspot saat ini dapat dengan mudah diakses oleh
berbagai kalangan. Akses mudah, murah dan cepat dengan melalui internet pada
berbagai sumber penyedia informasi data hotspot. Salah satu penyedia layanan
tersebut yaitu FFPMP, Forest Fire Prevention Management Piqiect, (proyek kerja
sama Dephut dan JICA) dengan sistem penyebaran informasi. Berbagai
kelebihan dari data Citra NCOA di atas, maka banyak kalangan memakainya
khususnya untuk kegunaan pemantauan iklim dan kebakaran hutan dan lahan.
Beberapa aplikasi data hotspot dari satelit NOAA dapat dijelaskan sebagai
berikut:
· Prediksi
Hotspot dan Asap Kebakaran
Jika perilaku kebakaran hutan dan lahan di berbagai
daerah telah dipahami dan perilaku asapnya pada berbagai kondisi udara/ cuaca
telah diketahui, maka hal ini dapat dijadikan dasar dalam memprediksi kebakaran
hutan dan lahan. Prediksi diperlukan untuk mengetahui pertambahan/ pengurangan
jumlah hotspot dalam bulan-bulan yang akan datang dan mengetahui sebaran
asapnya apakah akan makin berkembang menjadi kondisi yang mengkhawatirkan dalam
bulan-bulan yang akan datang atau sebaliknya kebakaran hutan dan lahan akan
mereda sehingga tidak perlu dikhawatirkan terjadinya pencemaran asap yang dapat
mencapai lintas batas negara (transboundary
haze pollution).
Untuk dapat memprediksi perkembangan jumlah hotspot
dan penyebaran asapnya merupakan hal tidak mudah. Hal ini mengingat bahwa
kebakaran hutan dan lahan merupakan masalah yang sangat kompleks yang
melibatkan faktor-faktor alam (cuaca/ iklim, bahan bakaran) maupun manusia
(kegiatan pemanfaatan lahan, ekonomi, dan budaya) dan bahkan kelembagaan. Namun
untuk mempermudah prediksi, maka dapat digunakan konsep peluang. Peluang yang
dimaksud mencakup jumlah hotspa pada bulan-bulan mendatang di beberapa daerah
yang rawan kebakaran dan peluang pencemaran asap dari kebakaran hutan dan
lahan. Adapun analisisnya dilakukan berdasarkan pada berbagai jenis data
historis maupun prediksi dari sumber-sumber yang cukup dapat diandalkan (LAPAN,
2004a)
· Deteksi
Kejadian Kebakaran (Active Fire)
Penginderaan jauh kebakaran dicapai dengan
penggunaan berbagai sistem satelit/ sensor. Sensor yang paling luas digunakan
untuk deteksi kebakaran dalam monitoring kebakaran jangka panjang dan skala
area yang luas adalah Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR)
terpasang pada satelit orbit polar NOAA. AVHRR mempunyai dua manfaat utama
dalam monitoring kebakaran. Pertama,, cakupan pengamatan di seluruh bumi setiap
hari pada resolusi sedang (1 km2) dimana merupakan terdepan dalam operasi
monitoring kebakaran global. Kedua, mempunyai kisaran spektral yang luas dari
visible (ch. 1, 0.63 um), near-infrared (ch.2, 0.83 um), mid-infrared (ch. 3,
0.37 um) dan gelombang panjang termal (ch. 4-5, 10-12 um). Masing-masing kanal
menyangkut pada atribut tertentu dari kebakaran (Li et.al. 1997 dalam Sunuprapto.
2000).
Beberapa proyek yang telah dilakukan di beberapa
negara telah dengan sukses mengembangkan sistem deteksi kejadian kebakaran (active
fire) utamanya mereka menggunakan data hotspot dari NOAA AVHRR mempertimbangkan
keunggulan sistem NOAA. Tetapi alasan paling penting penggunaan sistem ini
adalah penyediaan data yang berbasis harian pada harga yang pantas, khususnya
ketika sistem seperti itu harus diaplikasikan untuk negara-negara sedang
berkembang. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa stasiun penerima NOAA:
Palembang Sumatera (MoF-EU), Bogor Jawa (MoF-JICA), Samarinda Kalimatan
(MoF-GTZ), Jakarta Jawa (LAPAN-Bappedal). Sistem serupa juga dikembangkan pada
negara-negara sedang berkembang agar dapat mendeteksi kejadian kebakaran dalam
basis harian (Sunuprapto, 2000).
Deteksi kejadian kebakaran yang paling cepat dalam
penyediaan dan distribusi datanya yaitu data hotspot, baik berupa lokasi
hotspot (letak geografis) maupun peta sebaran hotspot. Data hotspot bahkan
tersedia secara bebas dan mudah di akses dari internet. Sumber-sumber data hotspot
yang dapat diakses dengan mudah seperti LAPAN (Lembaga Antariksa dan
Penerbangan Nasional), Departemen Kehutanan Republik Indonesia, FFPMP (Forest
Fire Prévention Management Project -MoF-JICA) dan sumber lain dari luar negeri.
Gambar 2. memperlihatkan sebaran hotspot yang diolah dari citra NOAA.
· Pemetaan
Tingkat Rawan Kebakaran
Kajian
tingkat kerawanan kebakaran dengan menggunakan data hotspot telah dilakuakan
oleh LAPAN (2004b). Berdasarkan analisis terhadap curah hujan, NDVl (Normalized
Difference Vegetation Indeks) atau Indeks Vegetasi, jenis penutup lahan, jenis
lahan, dan jarak terhadap jalan dan sungai yang digabungkan dengan analisis
frekuensi hotspot, baik secara temporal maupun spasial, diperoleh bahwa setiap
faktor memberikan kontribusi yang berbeda terhadap potensi terjadinya kebakaran
hutan.
Dari analisis diperoleh bahwa NDVl merupakan
representasi dari keadaan bahan bakar, baik dari sisi tingkat kehijauan
vegetasi hidup maupun serasah. Oleh sebab itu parameter NDVl memberikan
kontribusi terbesar terhadap kerawanan kebakaran hutan. Selanjutnya curah hujan
merupakan parameter penentu tingkat kadar air bahan bakar. Pada keadaan NDVl
dan jenis bahan bakar yang sama, curah hujan yang berbeda memberikan pengaruh
kadar air yang berbeda terhadap bahan bakar (vegetasi hidup maupun serasah),
sehingga curah hujan memberikan kontribusi terbesar kedua sesudah NDVl. Jenis
penutup lahan memberikan kontribusi terhadap frekuensi hotspot terutama karena
berkaitan dengan aktivitas konversi lahan. Dari peta hotspot tahun 1996 hingga
2002 menunjukkan bahwa frekuensi hotspot terbesar terjadi pada lahan pertanian,
diikuti hutan sekunder, semak belukar, dan perkebunan. Faktor keempat yang
menentukan kerawanan kebakaran adalah jenis lahan yang berdasarkan peta UNEP (2002),
sumatera secara garis besar dibedakan atas lahan kering dan lahan gambut
(LAPAN, 2004b)
Berdasarkan faktor-faktor tersebut telah disusun
kriteria dan bobot untuk menentukan tingkat kerawanan kebakaran hutan. Kelas
kerawanan kebakaran hutan dibagi atas 6 kelas yang menunjukkan tingkat
kemudahan untuk terbakar mulai dari sangat sulit hingga sangat mudah, sehingga
kelas kerawanan kebakaran hutan dibagi atas: sangat rendah, rendah, sedang,
agak tinggi, tinggi, dan sangat tinggi. Selanjutnya peta kerawanan kebakaran
hutan berbasis sistem informasi geografis telah dibuat dengan menggunakan
perangkat lunak ArcView.
· Permasalahan
pemanfaatan data hotspot
Berbagai
aplikasi data hotspot untuk kepentingan pemantauan kondisi hutan dan lahan
dirasa banyak memiliki kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut bahkan membuat
kualitas input bagi pengambilan keputusan menjadi bias sehingga informasi yang
disebarluaskan ke masyarakat kurang valid. Beberapa kelemahan dari data hotspot
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Karaktristik
Data
Pertama,
kelemahan pada sensor satelit NOAA. Menurut SSFFMP (2004), eberapa kelemahan
tetap melekat pada satelit NOAA. Salah satunya adalah sensornya yang tidak
dapat menembus awan, asap atau aerosol. Kelemahan tersebut sebenarnya terjadi
pada semua satelit yang memiliki sensor optis (sinyal pasif ). Berbeda dengan
sensor radar yang memiliki sinyal aktif dan dapat menembus awan serta dapat
berfungsi juga pada malam hari. Kelemahan tersebut akan sangat merugikan bila
kebakaran besar terjadi sehingga wilayah tersebut tertutup asap. Kejadian
seperti itu sangat sering sekali terjadi di musim kebakaran, sehingga jumlah
hotspot yang terdeteksi jauh lebih rendah dari yang seharusnya. Karena itu
untuk mengurangi kesalahan, informasi tentang penutupan awan atau asap
diperlukan pula sebagai informasi tambahan.
Kedua, resousi
spasial yang rendah pada citra NOAA. Rendahnya resolusi citra NOAA, yaitu
sekitar 1,1 km x 1,1 km, juga merupakan kelemahan yang sangat mendasar dari
sistem pendeteksian kebakaran. Dalam luasan sekitar 1 km persegi tersebut, kita
tidak dapat mengetahui di mana lokasi kebakaran secara persis. Selain itu,
walaupun jumlah titik kebakaran dalam luasan tersebut lebih dari satu, maka
luasan tersebut tetap akan diwakili oleh sebuah titik hotspot dengan lokasi
tepat di tengah luasan persegi tersebut. Karena Itu, penentuan luasan daerah
yang terbakar berdasarkan data hotspot satelit NOAA sebaiknya tidak dilakukan
karena akan menyebabkan bias yang sangat besar.
Karena sifatnya yang sensitif terhadap suhu
permukaan bumi ditambah dengan resolusinya yang rendah, kesalahan perkiraan
titik kebakaran cukup sering terjadi. Misalnya cerobong api dari tambang minyak
atau gas seringkah terdeteksi sebagai hotspot. Namun dengan pengalaman
operator, hal ini dapat diatasi. Kasus lain, areal tanah kosong yang relative lebih panas dibandingkan daerah
sekitar yang bervegetasi juga dapat terdeteksi sebagai hotspot. Pembakaran
untuk menyiapkan ladang sebelum ditanam juga dapat terdeteksi sebagai hotspot.
Hal ini sangat sering terjadi di wilayah-wilayah pasang surut di Sumatera
Selatan yang banyak menerapkan sawah padi sonor atau lebak lebung.
2.
Standar
Pengamatan dan Pemrosesan Citra NOAA
Perbedaan hasil data hotspot
juga diakibatkan oleh belum adanya standar internasional, khususnya dalam
sistem pendeteksian hotspot. Dari hasil inventarisasi permasalahan mengenai
pengamatan dan pemrosesan Citra NOAA yang ada khususnya pada kegiatan dan
metodologi deteksi dan pemantauan kebakaran hutan/lahan dengan data hot spot
maka dapat diuraikan beberapa masalah sebagai berikut:
Pertama, perbedaan penentuan threshold antar stasiun
pengamat. Perbedaan jumlah hotspot yang terpantau biasanya disebabkan karena
algoritma yang digunakan oleh setiap stasiun bumi yang berlainan misalnya
ambang batas (threshold) suhu yang digunakan untuk menentukan sebuah titik adalah
hotspot atau bukan. Menurut Hidayat, et. al. (2003), adanya perbedaan jumlah
hotspot yang dihasilkan oleh beberapa stasiun pengamatan sering kali dikeluhkan
oleh pengguna informasi hotspot terutama oleh Kementerian Lingkungan Hidup (d/h
BAPEDAL).
3.
Sistem
Distribusi Data
Kecepatan pengiriman data hasil olahan juga sangat penting, Khususnya bila
menjelang atau pada saat musim kebakaran terjadi. Hal ini seringkah menjadi
kendala di dalam menentukan strategi pengelolaan kebakaran di lapangan. Semakin
cepat informasi diterima, semakin memudahkan stakeholder di dalam melakukan
tindakan yang sesuai. Panjangnya rantai distribusi juga menyebabkan
keterlambatan informasi yang diterima di tingkat lapangan. Karenanya seiring
dengan proses desentralisasi, rantai distribusi perlu dipersingkat lagi,
misalnya data instansi pengolah data dapat dikumpulkan atau diterima langsung
di tingkat kabupaten atau perusahaan terkait (Solichin, 2004b).
Hal lain yang terkadang menjadi kendala adalah saat sebuah instansi
pengolah data mengalami kendala teknis sehingga memerlukan waktu yang cukup
lama untuk memperbaiki dan tidak memungkinkan untuk mengirimkan data tepat pada
waktunya. Dalam kondisi seperti ini, ketergantungan terhadap satu sumber data
akan menyulitkan di dalam kegiatan lapangan. Karenanya menggunakan beberapa
sumber data juga dapat dipertimbangkan atau dimanfaatkan sebagai sistem
cadangan (back-up system)
4.
Keberlanjutan
Ketersediaan Data
Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa tingkat keberlanjutan sebuah proyek
bantuan luar negeri di Indonesia seringkali cukup rendah, khususnya bila
terkait dengan perawatan dan perbaikan peralatan yang canggih dan sangat mahal.
Proyek FFPCP (Forest fire Prévention and Controi Project) yang didanai oleh Uni
Eropa telah melakukan investasi yang sangat besar sekitar 250 juta rupiah untuk
instalasi stasiun penerima satelit NOAA di Palembang. Anggaran yang minim dari
instansi pemerintah tidak mungkin melakukan perawatan berkala dan apalagi
perbaiakan suku cadang yang harus diimpor dari eropa atau negara maju lainnya.
Hal yang sama juga terjadi dengan proyek 1FFM (Integrated Forest Fire
Management) Jerman, belum stahun setelah fase hanäling over, tejadi kerusakan
pada perangkat keras sistem penerima satelit NOAA yang menyebabkan kegagalan
menangkap sinyal (Solichin, 2004b)
Karenanya untuk menjamin keberianjutan penyediaan informasi, peningkatan
mutu pelayanan oleh instansi pemerintah seperti LAPAN, BPPT, BMG atau
Departemen Kehutanan yang memilki kapasitas dan kemampuan di dalam teknologi
penginderaan jauh atau data iklim dan cuaca masih terus diperlukan bagi
stakeholder di tingkat propinsi dan kabupaten. Inisiatif untuk mendiskusikan
standarisasi data dan informasi kebakaran karenanya perlu dimulai lagi.
Masalah lain yang perlu dipertimbangkan adalah teknologi satelit NOAA yang
sepertinya mulai digantikan oleh MODIS (Moderate Resolution Imaging
Spectroradlometer). Satelit NOAA yang sudah dikembangkan sejak tahun 1978,
diperkirakan tidak akan dilanjutkan lagi. Sebagai gantinya NASA mengembangkan
sensor MODIS yang dibawa oleh satelit Terra dan Aqua. Sebagai salah satu sensor
hyperspectral (36 kanal) dengan resolusi menengah (beberpa kanal memiliki
resolusi 250 m2). MODIS dapat digunakan untuk pemantauan global dengan berbagai
tujuan. Terlebih lagi, NASA membuka akses yang cukup luas bagi pengguna MODIS
si seluruh dunia. Kaenanya penggunaan MODIS di dalam pemantauan kebakaran
merupakan sebuah langkah yang harus dikembangkan di masa depan (Solichin,
2004b)
Upaya Peningkatan Kualitas Data
Hotspot
Mengingat keterbatasan tersebut di atas, maka
beberapa hal perlu dketahui dan dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan
efektivitas data hotspot untuk aplikasi pemantauan kebakaran hutan antara lain
:
1. Perbandingan
jumlah hotspot antar stasiun pasti terjadi, mengingat adanya perbedaan ambang
batas suhu dan penggunaan satelit (terkait dengan waktu lintasan). Diperlukan
standar internasional untuk dapat menghasilkan informasi yang yang tidak
berbeda jauh pada lokasi monitoring kebakaran yang sama.
2. informasi
jumlah hotspot hanya dapat digunakan sebagai penentu tingkat bahaya yang
terjadi bila didukung oleh informasi tentang peringkat bahaya kebakaran yang
didasari atas informasi cuaca.
3. Dalam
kaitannya dengan kegiatan sistem peringatan dan deteksi dini, cek lapangan
harus tetap dilakukan. Pengecekan langsung di lapangan sangat diperlukan,
terutama di perusahaan perkebunan atau HTI, pengawasan melalui patroli atau
menara api masih sangat diperlukan. Menurut Hiroki dan Prabowo (2003) dalam
Suratmo et al. (2003), hasil dari cek lapangan ini bisa dipakai juga sebagai
umpan balik (feed back) untuk lebih menyempurnakan sistem deteksi yang
digunakan (misalnya untuk penentuan nilai ambang yang lebih sesuai/ tepat).
Dengan demikian, maka sistem deteksi ini akan terus berkembang menjadi lebih
sempurna dan dapat menghasilkan interpretasi dengan tingkat ketelitian yang
lebih baik
4. Informasi
hotspot sangat baik digunakan sebagai indikasi tingkat kebakaran secara umum,
karenanya analisa lanjutan dengan menumpangtindihkan dengan peta-peta lain
seperti batas penggunaan lahan atau penutupan lahan memberikan informasi yang
baik tentang perlu tidaknya melakukan pemadaman secara cepat.
5. Pengembangan
kerja sama antar instansi pemerintah daerah, instansi teknis penyedia data
(LAPAN, BMG, BAPEDAL) dan lembaga sumber data agar system distribusi dan
keberlanjutan data bisa terjamin.
6. Tidak
mungkin menentukan luasan areal yang terbakar berdasarkan penyebaran kumulatif
titik-titik hotspot tersebut, oleh karena itu perlu mengintegrasikan data
hotspot dengan analisis lanjutan menggunakan sistem penginderaan jauh dan
sistem informasi geografis. Hal ini bisa dilakukan dengan memadukan hotspot
dengan citra Landsat TMM Citra SPOT dan lain-lain, untuk memperoleh analisa
secara spasial dan permodelan dari indikasi yang diperlihatkan oleh data
hotspot. 7 MODIS dapat digunakan sebagai alternatife da:a 'ain selain NOOA
untuk untuk pemantauan global khususnya deteksi kebakaran hutan dan lahan.
Terlebih lagi, NASA membuka akses yang cukup luas bagi pengguna MODIS si seluruh
dunia. Karenanya penggunaan MODIS di dalam pemantauan kebakaran merupakan
sebuah langkah yang harus dikembangkan di masa depan.
7. Pemanfaatan
informasi yang disediakan oleh berbagai lembaga luar negeri, juga perlu
dipertimbangkan sebagai salah satu sumberdata reguler, mengingat sumber yang
berasal dari luar negeri seperti Singapura, Malaysia atau Amerika Serikat,
biasanya cenderung lebih stabil dan berkelanjutan. Hal ini biasanya didukung
dengan komitmen yang tinggi dalam hal pengorganisasian dan penyediaan anggaran
untuk perawatan serta pengembangan teknologinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Anderson, I P, Manda, I D dan Muhnandar.
1999a. Vegetation Fires in Sumatera Indonesia: The Presentasion and
Distribution of NOAA-Derived Data. Palembang: Forest Fire Prevention and
Control Project. European Union and Indonesian Ministry of Forestry and Estate
Crops
_.
1999b. Vegetation Fires in Indonesia: The The fire History of The
Sumatera
Provinces 1996 - 1998 as A predictor of Future Areas at Risk. Forest Fire
Prevention and Control Project. European Union and indonesian Ministry of
Forestry and Estate Crops. Palembang.
Direktorat
Penanggulangan Kebakaran Hutan. 2001. Perangkat Organisasi Penanggulanagn
Kebakaran Hutan Propinsi dan Kabupaten/Kota. Makalah dalam Pelatihan Kebakaran
Hutan Tingkat Manajemen Medan, 26 - 27 Juni 2001. Medan: Unit Manajemen Leuser
[FFPMP2] Forest Fire Prevention and
Management Project (phase 2) 2004. Sistem Deteksi dan Peringatan Dini.
http://frpmp2 hp.infoseek.co |p/ earlypageindo.htm [30 April 2011]
Hidayat, A. Kushardono D, Asriningrum W,
Zubaedah A dan Efendy, I. 2003. Laporan Verifikasi dan Validasi Metode
Pemantauan Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan dan Kekeringan. Jakarta: Pusat
Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh-LAPAN.
[LAPAN] Lembaga Antariksa dan
Penerbangan Nasional. 2004a. Kebakaran Hutan/Lahan Dan Sebaran Asap di Sumatera
dari Data Satelit Lingkungan dan Cuaca. Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
httDV/wwwJaDanjs.com/SMfiA/smba php?hab3&dala id=hn hr 2004062 6 all [30 April
2011]
Ratnasari, E. 2000. Pemantauan Kebakarn
Hutan dengan Menggunakan Data Citra NOAA-AVHRR dan Citra Landsat TM: Studi
KAsus di Daerah Kalimantan Timur, [skripsi]. Bogor. Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor
Redhafiari. 2001. Pembangunan Sistem
Peringatan Dini Kebakaran Hutan dengan indeks Kekeringan Keetch/Byram dan
Sistem Informasi Geografis di Kalimantan Timur, [tesis]. Samarinda : Program
Pascasarjana Magister, Universitas Muiawarman.
Solichin. 2004a. Hotspot Tidak Selalu
Titik Kebakaran (Mengenal Hotspot Bagian 1). Palembang: South Sumatera Forest
Fire Management Project (SSFFMP) Newsletters Hotspot,. Februari 2004; 1:2-3.
Sunuprapto, H. 2000. Forest Fire
Monitoring and Damage Assesment Using Remotely Sensed Data and Geographical
Information Systems (A Case Study in South Sumatera Indonesia). rjhesisj.
Enschede The Netherlands: Internasöonal Institute for Aerospace Survey and
Earth Sciences (ITC) (tidak dipublikasi).
Suratmo, G, Jaya, INS dan Husaeni. EA.
2003. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor: IPB Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar