Minggu, 29 September 2013

Strategi Konservasi Dengan Kembali Pada Hakekat Kehidupan Manusia



Strategi Konservasi Dengan Kembali Pada Hakekat Kehidupan Manusia
(Oleh: Arya Arismaya Metananda)

     Ada sebuah pernyataan menggelitik bahwa jangan sampai kita merumuskan/ identifikasi permasalahan yang salah sehingga keputusan yang diambil pun salah. Pernyataan ini terasa pas bila kita tujukan pada sebagian besar kita yang berselimutkan niat untuk memajukan bangsa ini. Serupa dalam hal upaya konservasi satwa liar dan tumbuhan. Selalu yang dieluhkan ialah areal konservasi yang terus berkurang. Bukankah ini suatu kenaifan ditengah laju penduduk yang tidak mungkin dibendung???
Lalu permasalahannya, apakah dampak berupa konversi lahan ataukan jumlah penduduk yang menyebabkan adanya konversi lahan tersebut yang dianggap sebagai akar masalah. Pandang kami, konversi lahan ialah kondisi marginal, bukan masalah. Adapun masalahnya ialah bagaimana mengatur kehidupan manusianya yang terus-menerus meningkat beriringan dengan kebutuhan hidupnya.
       Sebagai makhluk beragama sadar atau tidak kita kerap meninggikan paham kebenaran kita di atas kebenaran khalayak. Bukti sederhananya ialah adanya konflik of interest antara kebutuhan ekonomi dan keperluan ekologi sebagai mandat Tuhan kepada kita semua. Disinilah peran IMAN sebagai pondasi awal/ hakekat kehidupan manusia. Keberadaan IMAN dalam meyakini keberadaan Sang Khalik akan menyatukan dan tidak akan menyesatkan manusia. Adapun interpretasi cara menjalankannya, itulah yang membedakan yang kemudian kita kenal dengan beragama.
        Pondasi IMAN akan melahirkan keputusan yang Adil, Beradab dan Bermoral bagi kemaslahatan isi jagat raya. Tidak hanya manusia namun makhluk lainnya di alam semesta ini. Tidak ada keberpihakan hanya pada satu pihak lalu mendzolimi yang lainnya, itulah IMAN sebagai hakekat kehidupan manusia (Gambar 1).
               



 


 Gambar 1  Konsep hakekat kehidupan manusia.

Pondasi IMAN juga akan menuntun manusia pada pengambilan putusan yang tepat atas masalah yang tepat. Putusan itu lahir dari sebuah pengkajian/ penelitian dimana hasilnya akan memberikan kemaslahatan bagi seluruh isi jagat raya, bukan pada kepentingan menguntungkan pihak tertentu seperti yang saat ini banyak terjadi. Kita telah banyak mengambil keputusan besar menyangkut hajat hidup orang banyak tanpa didasarkan pertimbangan konferhensip dan jangka panjang. Banyak pembukaan lahan untuk dijadikan pertambangan dengan dalih ekonomi semata, mampu memberikan lapangan pekerjaan bagi orang banyak. Namun dilain sisi kita lupa dampak yang diakibatkan dari keputusan besar tersebut. Peristiwa banjir, abrasi air laut, tercemarnya sungai, matinya ikan serta kondisi lainnya yang langsung berimplikasi buruk pada kehidupan manusia. Ini adalah fakta sederhana yang kita lupakan saat pengambilan keputusan yang didasarkan hanya pada nafsu bukan karena IMAN.
Kita terus melangkah tanpa banyak mengevaluasi diri (ciri keIMANan). Banyak putusan lahir dari tarik ulur kepentingan pihak tertentu tanpa ada pengkajian yang benar dan mendalam. Tanpa research yang benar dan mendalam lalu mana mungkin masalah yang teridentifikasi akan benar, dan putusan yang benar. Inilah yang kami maksud kemudian mengindentifikasi masalah yang salah sehingga putusannya pun salah. Buktinya sampai saat ini belum banyak penelitian mengenai apa manfaat resources bagi manusia ditinjau dari segi bioprospeksinya. Bukankah Tuhan telah menyebutkan bahwa tidak ada dari ciptaannya yang sia-sia??. Inilah kemudian yang perlu terus kita ungkap “IQRO” guna meningkatkan keIMANan kita pada Sang Khalik. keIMANan juga yang akan menjaga kita untuk menjalankan hidup memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan serta menjaga lingkungan hidup berserta isinya.

Senin, 25 Maret 2013

MENCAPAI KEMERDEKAAN HAKIKI INDONESIA


“Mencapai Kemerdekaan Hakiki”*
Oleh: Arya Arismaya Metananda
*Disampaikan pada diskusi Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika

Judul ini sengaja dipilih sebagai penggugah kita semua akan kondisi Bangsa Indonesia saat ini. Terhitung sejak tahun 1945 yang lalu kita telah mengikrarkan diri sebagai bangsa dan negara yang merdeka. Artinya sudah 68 tahun lamanya pasca peristiwa bersejarah yang lalu kita mengakui diri telah merdeka. Namun pertanyaannya, apakah kita telah merdeka seutuhnya?
Mungkin pernyataan di atas terbaca sedikit sinis atau berfikir minimalis. Saya harap bukan itu  pola fikir yang terbangun melainkan semua kita merapatkan barisan guna menjawab tantangan dari pernyataan sinis tersebut.
Bukan tanpa alasan, di berbagai sektor terlihat bahwa kita masih banyak bergantung dengan pihak asing. Mulai dari sistem teknologi dan informasi sampai hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti sumber daya alam, terlihat dikuasai oleh pihak asing. Hal ini pun menggelitik hati saya sambil bertanya apakah kita masih yakin mengakui diri sebagai bangsa yang merdeka atau mulai saat ini kita harus mengakui diri bahwa kita masih sebagai bangsa yang terjajah, lalu kapan kita dapat menjadi bangsa yang merdeka seutuhnya, merdeka secara hakiki? Mari coba kita masuk pada relung akar masalah dan usaha penyelesaiannya.
Sadar atau tidak sampai dengan saat ini kita masih terlena dengan kekayaan alam yang disebut-sebut tertinggi ke dua setelah Negara Brazil. Kita terbuai dengan sebutan Indonesia sebagai Negara Mega Biodiversitas, tanpa mengetahui benar akan prinsip dasar dari biodiversitas tersebut. Apakah kita sempat berfikir bahwa biodiversitas tersebut suatu saat akan habis? saya pikir tidak semua kita berfikir ke arah sana. Kita justru lebih banyak berfikir bahwa masih banyak biodiversitas yang dapat dimanfaatkan tanpa memperhatiakan sustainability ke depan. Hal ini secara tidak langsung juga telah mempengaruhi dan melonggarkan daya juang serta semangat bangsa kita untuk menggali, mengembangkan, memelihara dan memanfaatkan keanekaragaman hayati secara bijak.
Hal lainnya adalah sebagai bangsa timur yang terkenal akan adat budayanya, kita beranjak terus dan terus meninggalkan budaya kita sendiri. Trand ke barat-baratan menjadi primadona saat ini dan menjadi tolak ukur seseorang tersebut terlihat modern dan maju. Budaya-budaya warisan nenek moyang seperti pengetahuan tradisional saat ini mulai dianggap kuno dan ditinggalkan. Terkesan tidak ada keberlanjutan pengetahuan tradisional atau estafet tradisional knowledge.
Dampak dari permasalahan di atas, bangsa kita saat ini terlihat labil, kehilangan arah. Hanya sekedar mampu mengikuti tanpa mampu mengimbangi atau bahkan mengalahkan negara asing. Kita belum siap sepenuhnya merubah trand menuju ke barat-baratan dan kita juga tidak sepenuhnya mampu mempertahankan budaya ketimuran yang sejak dahulu dianut.
Aspek lainnya yang juga perlu diperhatikan ialah aspek pendidikan. Sebagai modal dasar dalam membangun bangsa, saat ini arah pendidikan kita cenderung sekuler. Program penitikberatan pada ilmu science ternyata tidak diimbangi dengan pengajaran nilai-nilai moral. Akbitanya banyak diantara para generasi saat ini yang sudah tidak lagi mengenal tata kerama, seorang intelektual yang korup serta kebijakan-kebijakan pemerintahan yang berpihak pada kalangan tertentu.
Disisi lain ilmu science yang diharap besar dapat membangun bangsa ini juga ternyata tidak sepenuhnya dapat berperan. Model pengajaran yang kompleks, dimana seorang anak di didik dengan mata pengajaran yang banyak terlihat tidak menghasilkan banyak hal. Laksana seekor moyet ekor panjang yang sedang menangkap belalang lalu disimpannya di ketiak. Ketika hendak menangkap belalang yang lain, bebalang yang telah tertangkap pun jatuh dari ketiak si monyet dan akhirnya si monyet tersebut tidak memdapatkan apa-apa dari usahanya itu.
Dalam hal pengelolaan sumber daya alam misalnya, banyak isi bumi kita saat ini justru di kuasai oleh pihak asing dengan dalih bahwa kita tidak memiliki SDM dan modal yang cukup untuk mengelola itu. Bangsa kita cenderung tidak percaya diri dengan kemampuannya sendiri sehingga terus saja memberikan izin pengelolaan sumber daya alam kepada pihak asing. Kondisi semacam ini secara tidak langsung sama halnya dengan kita telah memberikan izin kepada pihak asing untuk merampok kekayaan alam Indoensia.
Beralih pada persoalan lainnya seperti pangan. Program berasasi yang dulu sempat digulirkan pemerintah telah merusak tatanan kebiasaan masing-masing wilayah dalam pemenuhannya akan pangan. Sebut saja daerah Papua yang awal mulanya terbiasa makan sagu, lalu Sulawesi Tengah dengan ubinya dan Nusa Tenggara Timur dengan jagungnya kini telah beralih dan terbiasa memakan nasi. Celakanya lagi terkadang sekalipun dalam satu hari jumlah karbohidrat yang di kandung beras (nasi) telah digantikan oleh jenis lainnya, seseorang tersebut bisa saja mengakui bahwa dirinya belum kenyang sebelum memakan nasi.
Ketergantungan akan nasi itu tentu menjadi masalah tersendiri dari bangsa kita, apalagi pada saat kondisi paceklik dimana para petani tidak dapat memanen padinya dan stok dalam negeri tidak mencukupi sehingga memaksa pemerintah kita harus mengimpor beras dari negara lain. Oh sunggu miris bila hal ini terus terjadi, sebagai nagara agraria yang sebagian besar penduduknya bekerja menjadi petani justru harus mengimpor beras dari negara luar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Lalu dari sekian identifikasi persoalan di atas, apa solusi yang dapat kita sudurkan? Berikut beberapa hasil renungan:
  1. Sadar bahwa banyak kesalahan dalam pengambilan keputusan yang bersifat strategis seharusnya pemerintah kita agar lebih berhati-hati dan mempertimbangkan matang-matang dalam pengambilan setiap keputusan/ kebijakan dengan berpegang pada aspek kesejahteraan rakyat di masa kini dan masa yang akan datang
  2. Percepatan pembangunan karakter anak bangsa yang kreatif, memiliki daya juang serta semangat untuk menggali, mengembangkan, memelihara dan memanfaatkan keanekaragaman hayati sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia di masa kini dan masa yang akan datang
  3. Perubahan sistem pendidikan yang cenderung sekulerisme dengan menambahkan proporsi yang berimbang terhadap pengajaran nilai-nilai moral sehingga terbentuk moral anak bangsa yang relegius
  4. Kembali pada jati diri kita sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran sebagai aset berharga yang dibanggakan di mata dunia. Pengetahuan tradisional seharusnya mampu menonjol menjawab tantangan persoalan saat ini
  5. Kita harus percaya diri akan kemampuan bangsa kita saat ini bahwa kita pun bisa tanpa harus banyak tergantung dengan pihak asing
  6. Saatnya untuk kembali lagi, merediversifikasi pangan menuju pangan lokal bukan malah membiarkan produsen pangan dunia terus merajai pangsa usaha pangan dalam negeri seperti Mcdonald, Kentucky Fried Chicken, ataupun usaha sejenisnya
  7. Basis pembangunan nasional seharusnya dibangun dari unit terkecil dimulai dari desa bukan malah tersentralistik pada kota yang sebetulnya sudah cukup mapan. Mulai dari desa kita bangun kemandirian bangsa, perkuat pertahanan pangan, dan kesejahteraan raykat.
  8. Fasilitasi desa tersebut dengan ipteks agar setiap warganya dapat berkembang dalam pencapaian kemandirian bangsa, pertahanan pangan, dan kesejahteraan raykat.
  9. Kebijakan setiap stakeholder harus saling tersambung, saling membahu dalam pencapaian tujuan nasional. Tidak ada lagi ego sektoral yang membuat para aparatur negara kita beserta instansinya terkesan tercerai berai dan cenderung berjalan sendiri-sendiri.
  10. Lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif harus mampu bekerja bersama sesuai mandat yang dipegangnya. Jangan lagi ada selintingan misalnya DPR sebagai dewan perwakilan parpol, melainkan benar-benar mewakili rakyat Indonesia.
 Pada akhirnya ke depan kita bukan lagi menjadi tamu di rumah sendiri melainkan menjadi raja di rumahnya sendiri. Itulah pencapaian sebuah bangsa yang merdeka secara hakiki