“Mencapai Kemerdekaan
Hakiki”*
Oleh: Arya Arismaya Metananda
*Disampaikan pada diskusi Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika
Judul ini sengaja
dipilih sebagai penggugah kita semua akan kondisi Bangsa Indonesia saat ini.
Terhitung sejak tahun 1945 yang lalu kita telah mengikrarkan diri sebagai
bangsa dan negara yang merdeka. Artinya sudah 68 tahun lamanya pasca peristiwa
bersejarah yang lalu kita mengakui diri telah merdeka. Namun pertanyaannya,
apakah kita telah merdeka seutuhnya?
Mungkin pernyataan di
atas terbaca sedikit sinis atau berfikir minimalis. Saya harap bukan itu pola fikir yang terbangun melainkan semua
kita merapatkan barisan guna menjawab tantangan dari pernyataan sinis tersebut.
Bukan tanpa alasan, di berbagai
sektor terlihat bahwa kita masih banyak bergantung dengan pihak asing. Mulai
dari sistem teknologi dan informasi sampai hal yang menyangkut hajat hidup
orang banyak seperti sumber daya alam, terlihat dikuasai oleh pihak asing. Hal
ini pun menggelitik hati saya sambil bertanya apakah kita masih yakin mengakui
diri sebagai bangsa yang merdeka atau mulai saat ini kita harus mengakui diri
bahwa kita masih sebagai bangsa yang terjajah, lalu kapan kita dapat menjadi
bangsa yang merdeka seutuhnya, merdeka secara hakiki? Mari coba kita masuk pada
relung akar masalah dan usaha penyelesaiannya.
Sadar atau tidak sampai
dengan saat ini kita masih terlena dengan kekayaan alam yang disebut-sebut
tertinggi ke dua setelah Negara Brazil. Kita terbuai dengan sebutan Indonesia
sebagai Negara Mega Biodiversitas, tanpa mengetahui benar akan prinsip dasar
dari biodiversitas tersebut. Apakah kita sempat berfikir bahwa biodiversitas
tersebut suatu saat akan habis? saya pikir tidak semua kita berfikir ke arah
sana. Kita justru lebih banyak berfikir bahwa masih banyak biodiversitas yang
dapat dimanfaatkan tanpa memperhatiakan sustainability
ke depan. Hal ini secara tidak langsung juga telah mempengaruhi dan
melonggarkan daya juang serta semangat bangsa kita untuk menggali,
mengembangkan, memelihara dan memanfaatkan keanekaragaman hayati secara bijak.
Hal lainnya adalah
sebagai bangsa timur yang terkenal akan adat budayanya, kita beranjak terus dan
terus meninggalkan budaya kita sendiri. Trand ke barat-baratan menjadi primadona
saat ini dan menjadi tolak ukur seseorang tersebut terlihat modern dan maju.
Budaya-budaya warisan nenek moyang seperti pengetahuan tradisional saat ini
mulai dianggap kuno dan ditinggalkan. Terkesan tidak ada keberlanjutan
pengetahuan tradisional atau estafet tradisional
knowledge.
Dampak dari
permasalahan di atas, bangsa kita saat ini terlihat labil, kehilangan arah. Hanya
sekedar mampu mengikuti tanpa mampu mengimbangi atau bahkan mengalahkan negara
asing. Kita belum siap sepenuhnya merubah trand menuju ke barat-baratan dan
kita juga tidak sepenuhnya mampu mempertahankan budaya ketimuran yang sejak dahulu
dianut.
Aspek lainnya yang juga
perlu diperhatikan ialah aspek pendidikan. Sebagai modal dasar dalam membangun
bangsa, saat ini arah pendidikan kita cenderung sekuler. Program penitikberatan
pada ilmu science ternyata tidak
diimbangi dengan pengajaran nilai-nilai moral. Akbitanya banyak diantara para
generasi saat ini yang sudah tidak lagi mengenal tata kerama, seorang intelektual
yang korup serta kebijakan-kebijakan pemerintahan yang berpihak pada kalangan
tertentu.
Disisi lain ilmu science yang diharap besar dapat
membangun bangsa ini juga ternyata tidak sepenuhnya dapat berperan. Model
pengajaran yang kompleks, dimana seorang anak di didik dengan mata pengajaran
yang banyak terlihat tidak menghasilkan banyak hal. Laksana seekor moyet ekor
panjang yang sedang menangkap belalang lalu disimpannya di ketiak. Ketika
hendak menangkap belalang yang lain, bebalang yang telah tertangkap pun jatuh
dari ketiak si monyet dan akhirnya si monyet tersebut tidak memdapatkan apa-apa
dari usahanya itu.
Dalam hal pengelolaan
sumber daya alam misalnya, banyak isi bumi kita saat ini justru di kuasai oleh
pihak asing dengan dalih bahwa kita tidak memiliki SDM dan modal yang cukup
untuk mengelola itu. Bangsa kita cenderung tidak percaya diri dengan
kemampuannya sendiri sehingga terus saja memberikan izin pengelolaan sumber
daya alam kepada pihak asing. Kondisi semacam ini secara tidak langsung sama
halnya dengan kita telah memberikan izin kepada pihak asing untuk merampok
kekayaan alam Indoensia.
Beralih pada persoalan
lainnya seperti pangan. Program berasasi yang dulu sempat digulirkan pemerintah
telah merusak tatanan kebiasaan masing-masing wilayah dalam pemenuhannya akan
pangan. Sebut saja daerah Papua yang awal mulanya terbiasa makan sagu, lalu
Sulawesi Tengah dengan ubinya dan Nusa Tenggara Timur dengan jagungnya kini
telah beralih dan terbiasa memakan nasi. Celakanya lagi terkadang sekalipun
dalam satu hari jumlah karbohidrat yang di kandung beras (nasi) telah
digantikan oleh jenis lainnya, seseorang tersebut bisa saja mengakui bahwa
dirinya belum kenyang sebelum memakan nasi.
Ketergantungan akan
nasi itu tentu menjadi masalah tersendiri dari bangsa kita, apalagi pada saat
kondisi paceklik dimana para petani tidak dapat memanen padinya dan stok dalam
negeri tidak mencukupi sehingga memaksa pemerintah kita harus mengimpor beras
dari negara lain. Oh sunggu miris bila hal ini terus terjadi, sebagai nagara
agraria yang sebagian besar penduduknya bekerja menjadi petani justru harus
mengimpor beras dari negara luar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Lalu dari sekian
identifikasi persoalan di atas, apa solusi yang dapat kita sudurkan? Berikut
beberapa hasil renungan:
- Sadar bahwa banyak kesalahan dalam pengambilan keputusan yang bersifat strategis seharusnya pemerintah kita agar lebih berhati-hati dan mempertimbangkan matang-matang dalam pengambilan setiap keputusan/ kebijakan dengan berpegang pada aspek kesejahteraan rakyat di masa kini dan masa yang akan datang
- Percepatan pembangunan karakter anak bangsa yang kreatif, memiliki daya juang serta semangat untuk menggali, mengembangkan, memelihara dan memanfaatkan keanekaragaman hayati sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia di masa kini dan masa yang akan datang
- Perubahan sistem pendidikan yang cenderung sekulerisme dengan menambahkan proporsi yang berimbang terhadap pengajaran nilai-nilai moral sehingga terbentuk moral anak bangsa yang relegius
- Kembali pada jati diri kita sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran sebagai aset berharga yang dibanggakan di mata dunia. Pengetahuan tradisional seharusnya mampu menonjol menjawab tantangan persoalan saat ini
- Kita harus percaya diri akan kemampuan bangsa kita saat ini bahwa kita pun bisa tanpa harus banyak tergantung dengan pihak asing
- Saatnya untuk kembali lagi, merediversifikasi pangan menuju pangan lokal bukan malah membiarkan produsen pangan dunia terus merajai pangsa usaha pangan dalam negeri seperti Mcdonald, Kentucky Fried Chicken, ataupun usaha sejenisnya
- Basis pembangunan nasional seharusnya dibangun dari unit terkecil dimulai dari desa bukan malah tersentralistik pada kota yang sebetulnya sudah cukup mapan. Mulai dari desa kita bangun kemandirian bangsa, perkuat pertahanan pangan, dan kesejahteraan raykat.
- Fasilitasi desa tersebut dengan ipteks agar setiap warganya dapat berkembang dalam pencapaian kemandirian bangsa, pertahanan pangan, dan kesejahteraan raykat.
- Kebijakan setiap stakeholder harus saling tersambung, saling membahu dalam pencapaian tujuan nasional. Tidak ada lagi ego sektoral yang membuat para aparatur negara kita beserta instansinya terkesan tercerai berai dan cenderung berjalan sendiri-sendiri.
- Lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif harus mampu bekerja bersama sesuai mandat yang dipegangnya. Jangan lagi ada selintingan misalnya DPR sebagai dewan perwakilan parpol, melainkan benar-benar mewakili rakyat Indonesia.
Pada akhirnya ke depan
kita bukan lagi menjadi tamu di rumah sendiri melainkan menjadi raja di
rumahnya sendiri. Itulah pencapaian sebuah bangsa yang merdeka secara hakiki